Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengapa Ilmu Butuh Ontologi?

22 Juli 2025   16:03 Diperbarui: 22 Juli 2025   16:03 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama bertahun-tahun, ilmu pengetahuan sering diperlakukan seolah-olah hanya perkara pengumpulan data dan perumusan hukum-hukum alam. Namun, di balik sederet angka, grafik, dan eksperimen yang tampak netral dan objektif itu, tersimpan pertanyaan mendasar: apa sebenarnya yang sedang kita ketahui? Pertanyaan ini bukanlah sekadar keingintahuan akademis, tetapi menyentuh jantung filsafat ilmu. Inilah medan yang digali secara radikal oleh Roy Bhaskar dalam karyanya yang kini dianggap klasik, A Realist Theory of Science (2008). Di dalamnya, Bhaskar mengusulkan bahwa sains hanya bisa dipahami secara memadai bila ia berakar pada ontologi---yaitu pemahaman filosofis tentang apa yang ada di dunia dan bagaimana dunia itu bekerja, bahkan sebelum kita mengetahuinya.

Bhaskar mengawali serangannya terhadap positivisme dengan menunjukkan kontradiksi mendasar dalam praktik ilmiah. Di satu sisi, ilmuwan melakukan eksperimen dan membuat generalisasi dari hasil-hasil yang berulang. Namun di sisi lain, mereka secara implisit meyakini bahwa hukum-hukum alam berlaku bahkan di luar konteks eksperimen. Artinya, eksperimen tidak menciptakan hukum, melainkan hanya memungkinkan kita mengidentifikasi hukum yang sudah ada. Maka muncullah tuntutan logis: hukum-hukum itu harus berasal dari struktur realitas yang lebih dalam daripada sekadar data empiris---apa yang disebut Bhaskar sebagai generative mechanisms atau mekanisme kausal. Mekanisme ini bisa tetap bekerja meski tak selalu termanifestasi dalam gejala yang bisa diamati. Itulah inti gagasan transfactuality.

Dengan pendekatan ini, Bhaskar menolak pandangan Humean yang melihat hukum kausal hanya sebagai pola konjungsi tetap antar peristiwa. Sebaliknya, ia menawarkan transcendental realism---pandangan bahwa dunia nyata bersifat berlapis (stratified), terbuka (open systems), dan terdiri atas entitas yang memiliki daya kausal tersendiri, terlepas dari pengamatan manusia. Di sinilah ontologi menjadi penting. Tanpa konsep tentang struktur dunia yang kita selidiki, kita hanya akan berkutat pada permukaan fenomena, tanpa pernah memahami mengapa fenomena itu terjadi. Sains yang hanya berputar pada gejala empiris tanpa menggali struktur dalam akan terjebak dalam epistemic fallacy: kesalahan mendasar yang menganggap pertanyaan tentang realitas hanya bisa dijawab dari sisi pengetahuan tentangnya.

Tak berhenti pada ilmu alam, Bhaskar memperluas argumen ini ke dalam ilmu sosial. Menurutnya, masyarakat juga memiliki struktur kausal---seperti norma, institusi, dan relasi kekuasaan---yang tak bisa direduksi hanya pada tindakan individual. Ontologi sosial ini menjadi syarat bagi kemungkinan penjelasan dan kritik dalam ilmu sosial. Dengan demikian, critical realism tak hanya menjadi alternatif bagi positivisme, tapi juga membuka ruang bagi emansipasi manusia melalui pemahaman yang lebih dalam dan transformatif terhadap dunia sosial.

Bagi Bhaskar, ontologi bukanlah beban metafisik yang membingungkan sains, melainkan fondasi rasional yang memungkinkannya. Menolak ontologi berarti menyangkal kemungkinan bahwa ada sesuatu yang benar tentang dunia, bahkan sebelum kita mengetahuinya. Tanpa ontologi, sains menjadi buta terhadap realitas yang ingin ia pahami.

Ketika banyak filsuf kontemporer sibuk dengan bahasa, diskursus, atau relativisme, Bhaskar berdiri di jalur yang berbeda. Ia percaya bahwa sains, jika ingin tetap relevan dan reflektif, harus berani menanyakan: apa yang sebenarnya sedang kita selidiki? Di sinilah letak urgensi ontologi bagi ilmu. Ia bukan hanya soal spekulasi abstrak, melainkan tentang bagaimana kita memahami dunia sebagai medan potensial bagi perubahan yang bermakna---baik dalam sains, maupun dalam kehidupan.

Bibliografi
Bhaskar, R. (2008). A realist theory of science (2nd ed.). London and New York: Routledge.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun