Ketika Amazon dan Microsoft secara terbuka menyatakan bahwa pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) akan mengurangi kebutuhan tenaga kerja mereka, dunia kerja global terguncang. Tak lagi menjadi isu masa depan, disrupsi AI kini hadir nyata di depan mata. Lebih dari 15.000 pekerja berpengalaman dan pemula diberhentikan hanya dalam dua bulan terakhir oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa. Fenomena ini menunjukkan bahwa kecanggihan teknologi bukan hanya menggantikan pekerjaan fisik atau manual, tetapi juga mengancam stabilitas pekerjaan kelas menengah dan atas---mulai dari staf administratif hingga insinyur perangkat lunak.
Isu besar yang muncul adalah siapa sebenarnya yang paling terdampak? Gen Z yang baru lulus kuliah dan menempati posisi entry-level? Atau pekerja berpengalaman yang telah lama berkontribusi namun kini mulai tergantikan oleh sistem otomatisasi canggih? Jawabannya tidak sesederhana memilih salah satu. AI mengancam siapa saja yang gagal beradaptasi---terlepas dari usia atau pengalaman kerja. Entry-level workers semakin tidak dibutuhkan karena AI mampu menangani tugas rutin dengan cepat dan murah. Di sisi lain, banyak pekerja senior yang resistensi terhadap teknologi dan merasa aman dalam rutinitas justru kini menjadi target efisiensi karena gaji mereka dianggap tidak sepadan dengan kontribusi aktual di era baru.
Data dari ADP dan studi Microsoft menunjukkan bahwa AI meningkatkan produktivitas para pekerja muda yang mau belajar, tetapi pada saat yang sama mendorong pengurangan kebutuhan akan tenaga kerja menengah. Fenomena ini memperkuat struktur tenaga kerja berbentuk sabit, yaitu dominan di level junior yang didukung AI, menyusut di level menengah, dan dikendalikan oleh segelintir manajer senior yang menguasai sistem dan mampu mengarahkan strategi penggunaan AI secara optimal. Struktur organisasi seperti ini menandai lahirnya era baru, yaitu organisasi tanpa middle management.
Implikasi dari perubahan ini sangat besar bagi Indonesia. Sistem pendidikan tinggi masih mencetak lulusan yang diasumsikan akan masuk ke pasar kerja yang "normal", padahal entry-level jobs semakin langka dan semakin kompetitif. Pelatihan vokasi dan program studi di perguruan tinggi belum sepenuhnya responsif terhadap tren penggunaan AI di sektor formal. Sementara itu, regulasi ketenagakerjaan Indonesia belum mengantisipasi disrupsi struktural di mana pekerja tidak diberhentikan karena kinerja buruk, tetapi karena kecerdasan buatan dianggap lebih hemat dan efisien. Tanpa kebijakan adaptif, kita akan menghadapi ledakan pengangguran terdidik, meningkatnya angka pekerja informal digital, dan kerapuhan sistem jaminan sosial yang belum disiapkan untuk dunia kerja tanpa struktur tradisional.
Reformasi ketenagakerjaan mutlak diperlukan. Pemerintah tidak bisa hanya mengatur relasi industrial antara buruh dan majikan di pabrik, tetapi harus memperluas cakupan kebijakan untuk mengantisipasi pasar kerja yang cair, terdesentralisasi, dan terdigitalisasi. Perlu perombakan dalam tiga ranah sekaligus,
- pertama, kurikulum pendidikan dan pelatihan kerja yang responsif terhadap AI;Â
- kedua, sistem perlindungan sosial yang fleksibel bagi pekerja digital dan hybrid;Â
- ketiga, regulasi ketenagakerjaan yang mengatur penggunaan AI secara etis dan tidak diskriminatif.
Selain itu, kita butuh strategi nasional untuk membangun "reskilling ecosystem" yang tidak bergantung pada inisiatif pribadi, melainkan didorong negara dan dunia usaha secara kolektif.
AI memang menghadirkan efisiensi luar biasa, tetapi ia juga menciptakan tantangan sosial yang tidak bisa dijawab dengan pendekatan lama. Ketenagakerjaan tidak hanya soal pekerjaan---ia adalah instrumen distribusi kesejahteraan, stabilitas sosial, dan eksistensi kelas menengah. Jika disrupsi AI dibiarkan tanpa regulasi dan strategi adaptif, kita bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga arah dan keadilan dalam pembangunan. Kini saatnya pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil duduk bersama, merumuskan ulang wajah ketenagakerjaan Indonesia di era kecerdasan buatan. Karena AI bukan hanya soal efisiensi, tapi soal siapa yang kita relakan untuk tertinggal.
Reff: https://www.nytimes.com/2025/07/07/business/ai-job-cuts.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI