Di tengah globalisasi ekonomi yang semakin mendalam, kapitalisme tidak hanya mengelola kehidupan manusia, tetapi juga memanfaatkan kematian sebagai bagian dari logika profit. Dalam perspektif necropolitics, yang dipopulerkan oleh Achille Mbembe, kekuasaan bukan hanya terletak pada kemampuan untuk mengatur kehidupan manusia, tetapi juga untuk menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang harus mati. Kematian, dalam konteks ini, bukan lagi sekadar akibat dari kondisi sosial yang buruk, melainkan menjadi komoditas yang bisa dimanfaatkan, terutama dalam sistem ekonomi yang memprioritaskan efisiensi dan keuntungan daripada kesejahteraan manusia.
Konsep necropolitics mengungkap bagaimana, dalam beberapa sistem ekonomi, ada kelompok atau individu yang dipandang sebagai "disposable" atau bisa dibuang demi mencapai tujuan ekonomi tertentu. Sejarah panjang kapitalisme menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok yang dianggap tidak produktif, seperti orang miskin, pekerja migran, atau kelompok minoritas, sering kali terpinggirkan dan bahkan dikorbankan demi kepentingan ekonomi yang lebih besar. Salah satu contoh nyata dari praktik necropolitics dapat dilihat dalam industri farmasi, di mana obat-obatan seperti opioid dipasarkan dengan cara yang memperburuk ketergantungan dan kematian, terutama di kalangan komunitas yang terpinggirkan. Ini adalah contoh bagaimana kematian dipandang sebagai risiko yang bisa diterima dalam rangka meraih keuntungan ekonomi.
Pandemi COVID-19 memperlihatkan dengan jelas bagaimana logika ini diterapkan dalam konteks global saat ini. Ketika beberapa pemimpin dunia, seperti Presiden Donald Trump dan Perdana Menteri Boris Johnson, menegaskan bahwa "ekonomi harus kembali berjalan," bahkan dengan mengorbankan nyawa warga negara, mereka sedang menerapkan bentuk necropolitics yang lebih terang-terangan. Prioritas ekonomi di atas kesehatan dan keselamatan manusia menonjolkan realitas bahwa dalam sistem ini, beberapa nyawa dianggap lebih berharga daripada yang lain. Ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, kebijakan yang diambil tidak hanya mengabaikan nyawa manusia, tetapi juga secara langsung memperlakukan kematian sebagai biaya yang bisa diterima dalam mengejar efisiensi ekonomi.
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada negara-negara maju. Di negara-negara berkembang, kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan perang sering kali menjadi sarana yang menghidupkan "necro-economy" yang lebih eksplisit. Misalnya, dalam konteks perang atau konflik, kematian sering dipandang sebagai bagian dari kalkulasi ekonomi, di mana kerugian manusia diterima sebagai bagian dari strategi perburuan keuntungan, baik dalam hal penguasaan sumber daya alam atau melalui peran perusahaan multinasional yang memanfaatkan ketidakstabilan politik untuk memaksimalkan keuntungan.
Sistem ekonomi modern dan neoliberalism yang berkuasa, maka kematian yang sebelumnya mungkin dilihat sebagai tragedi atau kejahatan, kini sering diposisikan sebagai "risiko yang dapat diterima." Kematian dipandang sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dalam menjalankan roda perekonomian yang lebih besar. Dalam hal ini, necropolitics tidak hanya terjadi di area konflik atau negara dengan pemerintahan yang lemah, tetapi juga di negara-negara maju, di mana kebijakan ekonomi seringkali memprioritaskan pasar bebas dan efisiensi daripada perlindungan terhadap kehidupan manusia.
Untuk memahami bagaimana ekonomi modern berfungsi, kita perlu lebih kritis dalam melihat bagaimana kematian dan penderitaan, baik yang nyata maupun yang struktural, telah menjadi bagian dari komoditas yang menggerakkan sistem kapitalisme. Praktik necropolitics ini harus menjadi bahan refleksi untuk menyadarkan kita tentang harga yang dibayar oleh mereka yang terpinggirkan dalam rangka mempertahankan status quo ekonomi global yang tidak adil.
Bibliografi:
Mbembe, Achille. Necropolitics. Duke University Press, 2019.
Darian-Smith, Eve. "Dying for the Economy: Disposable People and Economies of Death in the Global North." State Crime Journal, 2021.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI