Warga New York kini dihadapkan pada ketegangan politik domestik. Ketegangan terjadi dari munculnya nama Zohran Mamdani. Ia bukan miliarder, bukan selebritas politik, bahkan tidak punya warisan dinasti politik seperti para petahana. Tapi menjelang pemilihan wali kota New York, Mamdani menjadi sosok yang ditakuti banyak kalangan elite kota. Bukan karena kekuatan finansialnya, melainkan karena gagasan-gagasannya yang menantang tatanan status quo.
Mamdani, politisi muda Partai Demokrat Sosialis, mewakili generasi baru pemimpin kota. Ia progresif, lantang, dan membawa isu-isu yang selama ini dianggap terlalu radikal. Ia menawarkan bus kota gratis. Ia mengusulkan pembekuan sewa apartemen di tengah krisis perumahan. Ia ingin membentuk jaringan toko kelontong milik kota untuk menekan harga pangan yang terus melambung. Semua itu terdengar utopis bagi sebagian orang, tapi juga menjadi harapan bagi kelompok warga kota yang merasa ditinggalkan oleh pertumbuhan ekonomi yang timpang.
Yang membuat para pebisnis benar-benar khawatir bukan hanya program sosial Mamdani, tetapi bagaimana ia akan membiayainya. Ia mengusulkan kenaikan pajak korporasi dan menaikkan pajak penghasilan bagi warga kota yang berpenghasilan jutaan dolar sebanyak dua persen. Ia juga menyarankan kota New York untuk berutang hingga 70 miliar dolar dalam satu dekade ke depan. Bagi kalangan elite bisnis dan keuangan, ini bukan hanya ancaman fiskal, tapi juga sinyal bahwa kekuasaan akan bergeser ke tangan yang berbeda.
Respon dunia bisnis pun nyaris histeris. Mike Bloomberg, mantan wali kota sekaligus taipan media, menyumbang lebih dari 8 juta dolar untuk mendukung Super PAC yang melawan Mamdani. Bill Ackman, investor kenamaan, menyebut Mamdani sebagai "pilihan yang berbahaya dan bencana." Dan Loeb, pengelola dana lindung nilai, membandingkan potensi masa depan New York di bawah Mamdani seperti "neraka kota" yang menurutnya sudah menimpa San Francisco dan Portland. Supermarket mogul John Catsimatidis bahkan terang-terangan mengancam akan menutup toko dan menjual bisnisnya jika Mamdani menang.
Namun di balik gelombang kritik dan ketakutan itu, ada sisi lain dari Mamdani yang justru mematahkan stigma. Ia adalah seorang Muslim keturunan Uganda-India yang terang-terangan mendukung Palestina. Tetapi, alih-alih ditolak mentah-mentah oleh komunitas Yahudi, Mamdani justru berhasil membangun aliansi strategis dengan tokoh Yahudi progresif, Brad Lander, yang menjabat sebagai bendahara kota New York. Mereka saling mendukung dalam sistem pemilu ranked-choice dan bahkan tampil bersama dalam program televisi nasional. Ketika Mamdani menyampaikan pidato kemenangannya, Lander berdiri di sampingnya --- sebuah simbol kuat bahwa politik kota ini tidak sesederhana identitas atau kutub ideologis.
Di kawasan Park Slope dan Upper West Side --- dua lingkungan dengan populasi Yahudi progresif yang signifikan --- Mamdani mendapatkan suara yang kuat. Dalam jajak pendapat pemilih Yahudi yang dilakukan oleh Honan Strategy Group pada Mei 2025, Mamdani berada di posisi kedua, hanya tertinggal dari Andrew Cuomo. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih New York tidak bisa dipetakan hanya lewat garis etnik atau religius, melainkan lewat spektrum nilai yang lebih luas: keadilan sosial, akses publik, dan redistribusi sumber daya.
Mamdani memang bukan fenomena yang bisa dilepaskan dari konteks lokal New York, tapi geliatnya menggambarkan tren global yang juga bisa terasa di Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Ketika politisi muda mulai bicara soal transportasi publik gratis, subsidi pangan, atau penyediaan hunian rakyat berbasis negara, elite bisnis merespons dengan kekhawatiran. Kekhawatiran bukan hanya terhadap kebijakan, tapi terhadap arah baru demokrasi yang mulai mendengarkan suara kelas pekerja, imigran, dan kaum muda.
Ketakutan banyak orang dari Mamdani bukan sekadar sosoknya sebagai politisi Muslim, imigran, atau sosialis. Yang ditakuti adalah gagasan-gagasannya, bahwa kota bisa dikelola seperti rumah bersama, bukan seperti pasar bebas. Dan ketakutan itulah yang sedang menjelma menjadi energi politik baru di banyak belahan dunia, termasuk tempat tinggal kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI