Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Raja Ampat, Green Extractivism, dan Resource Curse 2.0

7 Juni 2025   16:07 Diperbarui: 7 Juni 2025   16:07 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raja Ampat Islands, Foto: Wikipedia

Raja Ampat, permata biodiversitas laut dunia, kini berada di tepi jurang kehancuran ekologis. Kawasan yang pernah hanya identik dengan pesona karang, ikan-ikan eksotis, dan pariwisata berkelanjutan itu, kini mulai dirambah lubang-lubang tambang nikel. Ironisnya, ancaman ini datang bukan dari kekosongan regulasi, melainkan dari kebijakan yang justru mengklaim diri sebagai bagian dari solusi krisis iklim global: transisi energi hijau. Inilah wajah baru dari kutukan sumber daya---resource curse 2.0---di mana kekayaan alam yang seharusnya membawa kemakmuran, justru menjadi sumber konflik antara kepentingan ekonomi global dan keberlanjutan lokal. Indonesia, dengan cadangan nikel terbesar di dunia, tengah berada di jantung pusaran ekonomi hijau. Namun pertanyaannya, "hijau untuk siapa?"

Pemerintah Indonesia mendorong hilirisasi nikel secara agresif, menjadikan logam ini sebagai tulang punggung industri baterai kendaraan listrik dan transisi energi global.

Sebagaimana dikutip The Associated Press:

Auriga Nusantara's report found that land used for mining in Raja Ampat grew by about 494 hectares (about 1,220 acres) from 2020 through 2024. That was about three times the rate of expansion from the previous five years. The total permit area for mining in Raja Ampat --- all for nickel --- is more than 22,420 hectares, or about 55,400 acres.

Laporan Auriga Nusantara menunjukkan bahwa aktivitas tambang telah meluas hingga ke dalam kawasan Raja Ampat yang dilindungi. Sedimentasi dari tambang telah mencemari laut, merusak terumbu karang, dan mengganggu mata pencaharian nelayan lokal. Kutukan sumber daya yang dulu kita kenal dalam bentuk ketergantungan pada minyak dan batubara, kini menjelma dalam wujud yang lebih canggih-- green extractivism.

Apa yang terjadi di Raja Ampat menunjukkan bahwa tanpa reformasi tata kelola, transisi energi justru dapat memperdalam ketimpangan dan mempercepat kerusakan lingkungan. Euforia mengejar peran strategis di ekonomi hijau global, menjadikan Indonesia justru berisiko kehilangan warisan ekologisnya yang paling berharga. Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau, ia adalah simbol peringatan bahwa tanpa keadilan ekologis dan partisipasi lokal, energi hijau hanya akan menjadi warna baru dari eksploitasi lama.

Bibliografi:

Sovacool, B. K., Hook, A., Martiskainen, M., & Brock, A. (2020). The decarbonisation divide: Contextualizing landscapes of low-carbon exploitation and toxicity in Africa. Global Environmental Change, 60, 102028. https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2019.102028

Milko, V. (2025, January 31). Nickel mining threatens biodiversity haven in Indonesia, report says. The Associated Press. Retrieved from https://apnews.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun