Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Thesis: Kabinet Milyarder Meminggirkan Nilai-nilai Demokrasi, Supremasi Hukum, dan Keadilan Sosial?

8 April 2025   09:38 Diperbarui: 8 April 2025   09:38 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
adult-with-loths-money/Image by freepik

Di era neoliberalisme global, fenomena miliarder yang masuk ke dalam lingkar kekuasaan negara bukan lagi anomali. Dari Donald Trump di Amerika Serikat hingga miliarder-miliarder teknologi yang menjadi "pembisik" kebijakan publik, kekayaan ekstrem kian mewarnai wajah pemerintahan. Namun, benarkah kehadiran para miliarder dalam kabinet selalu berarti kemunduran demokrasi, erosi supremasi hukum, dan menyusutnya keadilan sosial?

Thesis bahwa "kabinet miliarder" identik dengan penyimpangan dari nilai-nilai demokrasi dan hukum memang memiliki fondasi empiris yang kuat. Di Amerika Serikat, misalnya, para miliarder yang duduk di kabinet atau berada di lingkar dekat kekuasaan terbukti mendorong kebijakan yang menguntungkan kelas atas: pemotongan pajak korporat, deregulasi sektor keuangan dan energi, serta pengurangan anggaran program jaring pengaman sosial. Kasus ini tidak berdiri sendiri. Riset Jeffrey Winters dalam Oligarchy (2011) menunjukkan bahwa negara-negara dengan ketimpangan kekayaan ekstrem cenderung mengalami konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elite, yang secara struktural meminggirkan kepentingan publik luas.

Dalam konfigurasi semacam itu, demokrasi mengalami penyusutan. Keputusan kebijakan tidak lagi mencerminkan kehendak mayoritas warga, tetapi disusun untuk melindungi status quo kekuasaan ekonomi-politik. Supremasi hukum juga kehilangan daya netralitasnya. Ketika pembuat hukum adalah mereka yang secara langsung atau tidak langsung berkepentingan terhadap hasil hukum itu sendiri, maka hukum bertransformasi dari rule of law menjadi rule by law---alat legitimasi kekuasaan, bukan alat keadilan. Keadilan sosial pun terpukul mundur. Ketimpangan ekonomi yang ekstrem tak lagi dianggap sebagai masalah, melainkan sebagai insentif atau hasil kerja keras yang sah, terlepas dari proses akumulatif yang melibatkan privatisasi keuntungan dan sosialiasi risiko.

Namun, tesis ini tidak bersifat universal. Tidak semua negara dengan elite kaya mengalami penyimpangan institusional yang sama. Singapura dan negara-negara Skandinavia menunjukkan bahwa kekuasaan elite tidak otomatis menyingkirkan nilai-nilai keadilan sosial atau supremasi hukum.

Singapura, meskipun memiliki elite teknokratik dengan latar belakang bisnis, mengandalkan meritokrasi birokratik yang sangat terstruktur. Negara menjalankan fungsi koordinasi dan kontrol atas korporasi melalui lembaga seperti Temasek dan GIC, alih-alih membiarkan pasar mengatur dirinya sendiri. Tidak ada dominasi miliarder dalam politik elektoral karena politik di Singapura dibangun atas birokrasi yang terkoordinasi ketat dan tingkat akuntabilitas administratif yang tinggi. Hukum ditegakkan dengan keras---bukan untuk kepentingan elite ekonomi, tetapi untuk memastikan stabilitas sosial dan efisiensi negara.

Negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, Denmark, dan Finlandia bahkan menunjukkan model yang sangat berbeda. Mereka mempraktikkan demokrasi sosial, di mana elite ekonomi tidak mendominasi politik karena sistem pajak progresif, partisipasi serikat pekerja, dan kekuatan partai-partai kiri yang menjaga keseimbangan. Dalam sistem ini, redistribusi kekayaan bukanlah beban moral, melainkan konsekuensi logis dari komitmen pada prinsip keadilan sosial.

Yang membedakan Singapura dan Skandinavia dari Amerika Serikat bukan terletak pada ada tidaknya elite kaya, tetapi pada prasyarat institusional yang mereka bangun. Pertama, mereka memiliki mekanisme akuntabilitas yang kuat, baik secara hukum, administratif, maupun politik. Kedua, terdapat budaya politik yang mendorong pelayanan publik, bukan akumulasi pribadi. Ketiga, sistem rekrutmen elite dilakukan dengan mekanisme meritokrasi atau representasi kelas yang relatif seimbang, bukan pembelian posisi melalui kampanye miliaran dolar. Keempat, ada komitmen historis terhadap prinsip kesejahteraan kolektif, bukan semata efisiensi pasar.

Dengan demikian, keberadaan miliarder dalam pemerintahan baru menjadi ancaman serius terhadap demokrasi, hukum, dan keadilan sosial apabila prasyarat kelembagaan dan budaya politik tidak mampu mengimbangi kekuatan kapital. Demokrasi tanpa struktur institusi yang tangguh hanya akan menjadi nama lain dari oligarki elektoral.

Tesis bahwa "kabinet miliarder meminggirkan demokrasi" bukanlah dogma, tetapi peringatan---bahwa ketika kekayaan dan kekuasaan menyatu tanpa pengawasan, negara berubah fungsi: dari pelayan publik menjadi penjaga kepentingan pribadi. Maka tantangannya bukan sekadar mengurangi jumlah orang kaya di pemerintahan, tetapi membangun institusi yang tahan terhadap kooptasi kekuasaan oleh uang.

Pustaka

Barr, M. D. (2014). The Ruling Elite of Singapore: Networks of Power and Influence. I.B. Tauris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun