Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kemanusiaan yang Disensor: Mengapa Palestina Tak Punya Tempat di Hollywood?

26 Maret 2025   21:41 Diperbarui: 26 Maret 2025   21:41 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gal Gadot sebagai Ratu Jahat, AI Generated (Ilustrasi)

Di tengah penderitaan yang tak terbayangkan di Gaza---dengan ribuan warga sipil, termasuk anak-anak, terbunuh akibat serangan udara dan pengepungan---suara-suara dari dunia seni dan hiburan seharusnya dapat menjadi ruang empati, solidaritas, dan kemanusiaan. Namun, alih-alih menjadi panggung kebebasan nurani, Hollywood justru berkali-kali menunjukkan wajahnya yang konservatif dan oportunistik. Solidaritas untuk Palestina kerap dianggap sebagai dosa karier, dan para artis yang berani bersuara pun dibungkam, ditindak, atau didiskreditkan.Kontroversi terbaru yang melibatkan dua aktris utama dalam film Snow White produksi Disney menjadi sorotan global. Gal Gadot, aktris asal Israel dan mantan tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), memerankan tokoh Ratu Jahat dalam film tersebut. Di sisi lain, lawan mainnya, Rachel Zegler, menuai kontroversi besar hanya karena menyisipkan kalimat "Free Palestine" dalam unggahan media sosialnya saat mempromosikan film tersebut. Meski singkat, pesan tersebut menjadi pemicu kemarahan di internal industri. Disney---dalam laporan Variety---dilaporkan menghubungi langsung tim Zegler dan bahkan mengirim produser ke New York untuk membicarakan "dampak" dari pernyataan tersebut.

Tanggapan dari Disney terhadap situasi ini tidak pernah dirilis secara eksplisit dalam bentuk pernyataan publik resmi. Namun, tindakan mereka berbicara lebih keras dari kata-kata. Disney dikabarkan membiayai penasihat media sosial khusus untuk Zegler demi menghindari "kesalahan" serupa menjelang perilisan film. Sebaliknya, Gal Gadot, yang sejak awal menunjukkan dukungan terbuka untuk Israel dan bahkan memproduksi film dokumenter yang membela narasi militer Israel pasca serangan 7 Oktober 2023, tidak mendapat sanksi atau batasan apapun dari studio. Justru, ketika muncul ancaman terhadap keselamatannya, Disney memperkuat keamanan pribadinya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam sistem produksi Hollywood---khususnya di perusahaan sebesar Disney---terdapat standar ganda yang begitu mencolok. Membela Israel dianggap wajar, bahkan diterima sebagai bagian dari identitas personal dan kebanggaan nasional. Namun menyuarakan kemanusiaan untuk Palestina dianggap sebagai tindakan berisiko, bahkan subversif. Snow White yang seharusnya menjadi dongeng universal tentang kebaikan melawan kejahatan, justru menjadi panggung nyata di mana solidaritas moral dikriminalisasi.

Secara naratif, film ini menghadirkan Gal Gadot sebagai Ratu Jahat: tokoh dengan kekuasaan, kendali, dan kemampuan untuk menyingkirkan siapa pun yang mengancam posisinya. Karakter ini kini memiliki gema yang ironis di luar layar. Ketika Disney memperkuat narasi dominan dan meminggirkan mereka yang menyuarakan keadilan bagi Palestina, maka cerita fiksi itu pun seakan menjadi cermin dari kenyataan politik: siapa yang memiliki kekuasaan, siapa yang mengendalikan cermin, dan siapa yang harus dibungkam karena tidak sesuai dengan narasi "terindah".

Rachel Zegler bukan satu-satunya korban budaya pembungkaman ini. Melissa Barrera dipecat dari waralaba Scream karena mengunggah kutipan dari sejarawan Israel yang menyebut kebijakan Israel di Gaza sebagai bentuk genosida. Susan Sarandon dicoret dari agensinya setelah berorasi di demonstrasi pro-Palestina. Bahkan Gigi dan Bella Hadid menghadapi serangan sistematis hanya karena mereka berdarah Palestina dan bersuara untuk saudara mereka. Dalam semua kasus ini, yang dikriminalisasi bukanlah ujaran kebencian, tetapi empati dan kemanusiaan.

Di tengah semua ini, Disney tetap mempertahankan citranya sebagai perusahaan yang mempromosikan nilai-nilai universal: cinta, kebaikan, dan keberagaman. Namun kenyataan membuktikan bahwa nilai-nilai ini bersifat selektif. Ketika kemanusiaan untuk Palestina justru dianggap "terlalu politis", maka sesungguhnya yang sedang dijaga bukan nilai moral, tetapi posisi komersial dan geopolitik yang aman.

Hollywood, khususnya Disney, memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk imajinasi publik global. Namun kekuatan ini kini tampak digunakan untuk memperkuat narasi dominan yang mengabaikan penderitaan satu bangsa. Dalam konteks ini, Snow White bukan sekadar film; ia menjadi simbol bagaimana dunia hiburan menyensor solidaritas, membungkam empati, dan mengatur siapa yang layak mendapat tempat dalam cerita.

Kemanusiaan untuk Palestina bukanlah agenda politik yang ekstrem. Ia adalah seruan nurani yang paling mendasar. Ketika industri sebesar Disney tidak mampu memberi ruang bagi suara-suara ini---bahkan sekadar untuk tidak mengintimidasi---maka kita harus bertanya kembali: kepada siapa sesungguhnya cerita-cerita ini ditujukan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun