Mohon tunggu...
Cak Glentong
Cak Glentong Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah budaya dan agama

Pemerhati masalah budaya dan agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Buzzer, Sampah Peradaban yang Dibutuhkan

7 Juli 2020   14:06 Diperbarui: 7 Juli 2020   14:35 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada dua konflik buzzer di medsos saat ini, yang pro pemerintah dan yang kontra pemerintah. Keduanya adalah bisa menjadi pengrusak tata nilai yang ada. Keduanya seperti tumpukan sampah yang menganggu jalannya air di sebuah sungai.

Tetapi karena dianggap menguntungkan kelompoknya dan menutup aliran air di kelompok yang menjadi rivalnya, kelompok yang merasa diuntungkan akan senang dengan adanya sampah tersebut, bahkan memproduksinya secara terus menerus agar sampah itu tetap ada di sana.

Tetapi kita seharusnya berharap bahwa para buzzer dari arah manapun harus dibersihkan. Mungkin awalnya buzzer muncul karena niat baik, ketika seseorang yang sedang berkampanye membutuhkan orang-orang yang menyampaikan ide-ide besarnya ke masarakat, dan di era sekarang cara yang terbaik adalah menggunakan jasa orang-orang yang menguasai media massa.

Muncul semacam simbiosis mutualisme, pihak yang satu butuh dukungan dan yang satu lagi butuh uang. Mereka bekerja mempromisikan ide besar itu, walau kemudian dianggap dusta. Mengangkat orang yang membayarnya dan menyerang orang-orang yang dianggap sebagai perintang orang yang membayarnya.

Permintaan agar Presiden Jokowi menertibkan buzzernya seperti pisau bermata dua. Pertama, yang meminta berarti menduga atau bahkan mungkin mempercayai jika presiden RI mempunyai hubungan dengan para buzzer yang suka mencipta dan menyebar hoaks. Sehingga presiden bisa melakukan tindakan menertibkan buzzer.

Kedua, adanya sekelompok buzzer yang bekerja secara sistematis untuk menyerang kelompok lain yang seolah-olah selalu lolos dari jerat hukum, sehingga yang bersangkutan meminta langsung kepada presiden. Karena orang nomor 1 di RI yang bisa menertibkannya.  Dan para buzzer itu dibayar untuk apa yang dilakukannya.

Tidak berlebihan jika buzzer seperti sampah peradaban, tentu bagi peradaban yang munjunjung tinggi rosionalitas dan kejujuran, tetapi kadang para politikus itu membutuhkannya untuk memuluskan jalan politiknya dan menghambat laju pesaingnya.

Kadang ambisi menjadikan seseorang menempuh segala cara untuk mencapai tujuan. Tangan-tangan buzzer bisa saja digunakan untuk dipinjam sebentar untuk memukul rival politik, seperti ungkapan "nabok nyilih tangan" (memukul orang lain menggunakan tangan orang lain juga). 

Menyebar aib orang lain menjadi sesuatu yang lazim dilakukan, bahkan terkadang bukan hanya aib tetapi juga fitnah. Demokrasi yang diharapkan sebagai perang ide dan gagasan, menjadi medan laga para buzzer.

Dan para politikus yang menggunakan jasa para buzzer, akan pura-pura tidak mengenal mereka. Karena malu jika menggunakan jasa buzzer untuk memenangkan pertarungan politiknya.

Buzzer rasanya sampah bagi peradaban di zaman sekarang ini. Ketika mereka menggunakan fitnah dan caci maki, membuka aib orang lain, demi untuk mencari uang. Tetapi kadang kita membutuhkannya untuk ambisi politik kita, kita tidak perlu peduli jika para buzzer yan mendukung jalan politik kita itu menghancurkan hidup orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun