Mohon tunggu...
Cak Glentong
Cak Glentong Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah budaya dan agama

Pemerhati masalah budaya dan agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sukarno Muda, Dewasa, Tua, hingga Sukarno yang Tidak Saya Kenali

21 Juni 2020   22:39 Diperbarui: 25 Juni 2020   10:11 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bekas Komandan Detasemen Kawal Presiden Soekarno, Mangil Martowidjojo, ketika menyalami Presiden Soekarno yang genap berusia enam puluh tahun pada tahun 1961. (sumber: Ipphos via kompas.com)

Siapapun yang pernah membaca buku tebal Di Bawah Bendera Revolusi pasti akan kagum dengan betapa hebat dan bahkan rasanya layak disebut pemikiran Sukarno sebagai pemikiran yang super genius, tentang nasionalisme, sosialisme,  bahkan tenang "api islam". 

Termasuk buku tulisan yang unik tentang wanita, berjudul Sarinah. Kita bisa membaca semangat yang meruap-ruap dalam buku Indonesia Menggugat. Wajar saja, jika beliau menjadi sosok besar dalam berdirinya Indonesia.

Kisah muda Sukarno yang menggebu, ingin memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Sikap marahnya kepada penindasan menjadi penggerak bagi hatinya untuk selalu bersemangat. 

Figur yang diceritakan dengan bagus dalam penuturna Inggit Ganarsih,  Kuantar Kau Ke Gerbang. Kisah perjuangan dan kisah yang mengagumkan. Pidato pembelaan Sukarno  "Indonesia Menggugat" adalah dialektika kebangsaan yang luar biasa. Gairah perjuangan yang tidak akan pernah bisa dipadamkan.

Ketika Sukarno menjadi pribadi dewasa, kepala negara yang didampingi Ibu Fatmawati, di awal kemerdekaan Sukarno sukses menjadi figur yang mampu menggerakkan bangsa Indonesia menata awal kemerdekaannya. 

Kemampuan retorika yang luar biasanya bisa menggerakkan masarakat untuk bersatu membangun negeri. Itu Sukarno dewasa. Secara perlahan Indonesia mempunyai marwah yang besar diantara bangsa-bangsa yang lain.


Namun ketika Sukarno beranjak tua, tantangan ekonomi yang berat, pertempuran ideologi yang begitu keras. 

Konsep Nasakom yang dulu bisa menyatukan komponen bangsa untuk merebut kemerdekaan, berada pada titik nadhirnya. Belum lagi setelah M Hatta mengundurkan diri dari wakil presiden. Sukarno sendirian dalam deru politik yang semakin menderu. 

Betapa beliau disanjung sebagai PBR (Pemimpin Besar Revolusi) atau Presiden Seumur Hidup, jabatan agung yang rasanya tidak sesuai dengan pola pikir Sukarno muda. 

Jika kita membaca buku Di Bawah Bendera Revolusi, Sukarno pribadi yang tulus dan terbuka dan demokratis. Kebijakan politik mercusuar menjadi sasaran kritik yang semakin hari semakin keras. Retorika yang dulu ampuh menggerakkan masarakat melawan penjajah tidak ampuh dalam menghadapi tantanga ekonomi.

Ketika usia remaja, pertama kali melihat sosok Sukarno dalam film G 30 S PKI yang merasa sedih. Bukan itu Sukarno yang saya kenal dalam pelajaran sejarah. 

Sukarno yang orator ulung, yang dengan kefasihan lesannya mampu menggetarkan dunia. Itu Sukarno yang tua, yang dalam perawatan dokter-dokter dari Cina. 

Saya berharap itu bukan gambaran Sukarno yang sebenarnya, hanya Sukarno dalam bingkai film saja. Tentu pada waktu itu saya belum membaca kisah Sukarno dengan wanita-wanita di sekitarnya. 

Dan itu, sosok Sukarno yang tidak saya kenali. Bahkan saya juga tidak berharap mengetatahuinya, biar yang ada dalam pikiran saya hanya Sukarno muda yang kuat dalam retorika penuh gegap gempita.

Ketika usia saya bertambah, saya tetap mengagumi Sukarno ,uda dengan semangatnya, tetapi rasanya tetap sulit mengagumi Sukarno yang di era-era tuanya, di akhir kekuasaannya. 

Semenjak M Hatta mengundurkan diri. Sukarno menjadi sosok yang kesepian secara ideologis, tidak ada lagi yang menjadi timbangan adil bagi Sukarno. M Hatta sosok ekonom, merasa murung melihat sahabatnya semakin menjauh dari permasalahan ekonomi rakyat. 

Sosok pejuang itu akhirnya harus diasingkan di WismaYaso dan wafat dalam sepi yang menikam hati. Suharto mencoba menghapus sisi Sukarno dalam pemerintah, tidak ada lagi retorika ala Sukarno tetapi yang ada hanya pembangunan dan pembangunan.

Sukarno dalam manusia pilihan dalam sejarah bangsa kita. Namun beliau tetap manusia yang pernah mengalami keterasingan ditampuk kepemimpinan nasional. 

Mengapa figur yang hebat itu bisa terjebak pada dunia kultus?? Kultus Presiden Seumur Hidup. Akhirnya yang sama juga terjadi pada Suharto ketia beliau menjadi presiden periode ke 6 dan ke 7, ketika orang-orang di sekitarnya "mengandalkan petunjuk " saja. 

Tidak ada lagi daya kritis. Di saat dua tokoh bangsa kita itu menjadi yang kesepian dalam tampuk kekuasaan. 

Orang-orang sekitarnya yang membuat andil beliau seolah-olah berkuasa mutlak di atas segala-galanya. Lalu sejarah mencatat, keduanya tidak tahu mengakhiri kekuasaannya dengan indah dan tidak mewariskan tradisi demokrasi yang diidamkan masarakat.

Sukarno adalah pahlawan dalam hati saya. Pahlawan bagi bangsa ini. Sukarno yang saya kenal dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Dan saya hanya ingin mengingat Sukarno muda saja dalam pemikiran saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun