oleh Muhammad Ghonim
"Satu-satunya cara untuk membuat negara ini besar ialah membangkitkan rasa harga diri rakyat."
--- Soekarno
Bayangkan oleh Anda, apa jadinya jika sila keempat Pancasila tidak menyebut kata kebijaksanaan dalam redaksinya, melainkan memilih diksi lain---kecerdasan, keahlian, kemapanan, atau Keberanian---sebagai penuntun dalam permusyawaratan dan perwakilan rakyat? Seandainya kalimatnya berbunyi: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kecerdasan dalam permusyawaratan/perwakilan", mungkinkah demokrasi yang kita bangun hari ini akan menjadi lebih rasional? Atau justru lebih elitis?
Pemilihan kata kebijaksanaan oleh para perumus Pancasila tentu bukan sekadar retorika indah. Ia adalah penanda nilai, sekaligus kompas etik yang diletakkan dengan penuh kehati-hatian. Ketika bangsa-bangsa lain merayakan rasionalitas, intelektualitas, bahkan pragmatisme dalam sistem politik mereka, Indonesia---dengan segala luka dan harapan pascakolonial---memilih jalan lain: menekankan pada laku bijak, bukan semata tahu cerdas.
Kita perlu mencermati keberanian pendiri bangsa yang melepaskan kata-kata prestisius seperti kecerdasan dan kemapanan---yang mudah diklaim oleh segelintir elite---demi sebuah kata yang tidak otomatis dimiliki, tapi harus terus diupayakan dalam hidup bersama: kebijaksanaan. Sebab bijaksana tidak datang dari gelar akademik, bukan warisan harta, dan tidak pula dipaksakan oleh kekuasaan. Ia hadir dari kesanggupan untuk mendengar, menyelami, dan menimbang kepentingan bersama secara jernih.
Demokrasi Tanpa Rasa
Menjelang usia ke-80 tahun Indonesia merdeka, sila keempat menghadirkan pertanyaan besar: benarkah kita sudah menjalankan "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan"? Ataukah sila itu sekadar etalase dalam kehidupan demokrasi prosedural yang kehilangan rasa?
Perayaan kemerdekaan yang tiap tahun dimeriahkan dengan gegap gempita sering kali menjadi panggung simbolik belaka. Tamu-tamu penting hadir, pidato dikumandangkan, kamera disorotkan ke arah para elite---namun ketika acara selesai, dan rakyat kembali ke ruang hidupnya yang penuh ketidakpastian, muncul pertanyaan itu lagi: Benarkah kita sudah merdeka?
Inilah yang disebut oleh Hannah Arendt sebagai "kekosongan politik": ketika institusi terus bekerja, tetapi kehilangan makna tindakan. Demokrasi berjalan, tetapi ia tidak menyentuh pengalaman rakyat. Permusyawaratan menjadi formalitas. Perwakilan menjadi urusan elektoral, bukan amanah kebangsaan.
Politik sebagai Laku Bijak
Dalam kerangka berpikir materialisme dialektis-logis (madilog) yang pernah disampaikan Tan Malaka, segala sesuatu harus diuraikan secara sistematis---berangkat dari kenyataan, dianalisis melalui logika, dan dikembalikan dalam bentuk perubahan. Maka, mari kita lihat relasi antara rakyat, hukum, dan kekuasaan.
Jika hukum adalah produk politik (dan memang demikian adanya), maka "kerakyatan" seharusnya menjadi sumber nilai bagi politik itu sendiri. Namun dalam praktiknya, rakyat sering kali hanya dijadikan objek, bukan subjek dari hukum. Aturan dibuat, tetapi hanya berlaku keras untuk mereka yang tak punya kuasa. Padahal, dalam prinsip negara hukum yang demokratis, tidak cukup hukum itu equal before the law, melainkan equally represented by the law.
Sayangnya, realitas kita menunjukan arah sebaliknya. Rakyat dipaksa menerima bahwa hukum bisa dijual, aturan bisa dinegosiasikan, dan keadilan hanya berlaku bagi mereka yang bisa membeli waktu dan pengaruh. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap sila keempat. Pengkhianatan terhadap "kebijaksanaan" yang seharusnya menjadi jiwa dari permusyawaratan itu sendiri.
Menumbuhkan Politik yang Berjiwa
Kebijaksanaan, dalam konteks ini, bukan sekadar sikap netral atau kompromi. Ia adalah keberanian untuk menyelami nurani publik. Politik bijak adalah ketika wakil rakyat tidak hanya membela konstituennya saat kampanye, tetapi turut merasakan lapar dan getir yang mereka hadapi setiap hari. Politik bijak adalah ketika "kerakyatan" tidak berhenti di kotak suara, tetapi menyatu dalam denyut kebijakan yang adil dan manusiawi.
Kita butuh pembaruan makna terhadap kata "kerakyatan". Ia bukan hanya angka partisipasi pemilu, tetapi pengetahuan mendalam tentang sedih dan bahagia rakyat. Ia bukan nama yang dijual saat orasi, tetapi hidup yang dikorbankan demi rakyat. "Yang dipimpin oleh hikmat"---bukan sekadar keputusan yang cepat, tetapi pilihan yang matang dan teruji oleh empati.
Indonesia, 80 Tahun Kemudian
Delapan dekade adalah waktu yang cukup untuk sebuah bangsa merenungi ke mana ia melangkah. Di tengah globalisasi yang mendorong homogenisasi nilai, kita sering kali justru kehilangan jati diri. Ketika sosialisme tersembunyi di ketiak kapitalisme, dan demokrasi diselimuti oligarki yang turun-temurun, maka sila keempat hadir bukan sebagai romantisme masa lalu---melainkan panggilan perlawanan moral yang harus dijawab hari ini.
Jangan heran jika kritik dianggap subversif, atau jika cinta pada Indonesia dicurigai sebagai aksi anarkis. Karena kebijaksanaan memang tidak disukai oleh kekuasaan yang terbiasa dengan dominasi. Tapi justru di situlah ujian bangsa ini: berani atau tidak menjadikan Pancasila sebagai praksis politik, bukan sekadar simbol nasionalisme.
Indonesia tidak hanya perlu merdeka dari penjajah, tapi juga dari kebodohan struktural, kebijakan yang picik, dan politik yang kehilangan hati.
Jika kebijaksanaan terus diabaikan, maka yang tersisa dari "kerakyatan" hanyalah slogan kosong.