Mohon tunggu...
Faris Rusydi
Faris Rusydi Mohon Tunggu...

Laki-laki. Mahasiswa. Aremania. Milanisti. Penggila sepakbola. Pecinta revolusi, diskusi, dan aksi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengaruh Zeitgeist (Jiwa Zaman) dalam Historiografi

15 Mei 2011   06:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:40 4139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Dari klasik kembali ke klasik, mungkin inilah pola yang terjadi pada penulisan sejarah saat ini. Apabila dipandang pada perspektif mistis-rasional, maka sejarah modern kini kembali ke era klasik dimana unsur-unsur yang berbau mistis dan simbolik berusaha untuk dimaknai kembali dan diberi porsi yang lebih. Oral history juga dikembangkan dengan lebih luas guna mengetahui pola-pola perkembangan zaman umat manusia.”

Berbicara mengenai historiografi modern saat ini, rasanya ada yang janggal ketika melihat modernitas itu dipahami sebagai sesuatu yang bersifat rasional dan meminggirkan hal-hal yang berbau mistis. Padahal, yang terjadi pada historiografi modern saat ini adalah pengembangan bidang oral history yang diharapkan kelak akan membantu manusia dalam mencari kehidupan di masa lalu. Penggunaan oral history, terutama dalam studi sejarah kuno tentunya akan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural, dimana dalam hal ini rasionalisme dalam perspektif modern tentu berusaha membuang jauh-jauh hal-hal yang tidak bisa di logika.

Hal yang bersifat kontradiktif ini menjadi sebuah ‘permasalahan logika’ ketika melihat kondisi kultural dan sosial Indonesia. Kultur masyarakat Indonesia yang masih kental terhadap hal-hal yang bersifat mistis menjadi masalah tersendiri dalam penerapan rasionalisme di Indonesia. Skema oral history yang kini dikembangkan oleh para sejarawan modern menjadi buah simalakama, dimana pada satu sisi membantu dalam penambahan sumber serta di sisi yang lain terkadang masih kuatnya hal-hal mistis dalam kisah-kisah tersebut.

Apabila ditelaah, proses penulisan ini seperti ini bagai kembali ke masa klasik, dimana Herodotus dan Tuchydides membuat sebuah historiografi berdasarkan kesaksian-kesaksian dan berusaha melogika hal-hal yang bersifat mistis tadi. Kembali ke awal, mungkin pola historiografi mengikuti pola sejarah yang selalu berulang dan berulang. Seperti kembali ke masa Tuchydides menulis sebuah historiografi, atau mungkin Indonesia akan mengawali sebuah era sejarah baru? Entah, tapi yang jelas dunia pun turut mengembangkan metode oral history saat ini. Mungkin dengan melihat kembali proses berkembangnya teori-teori sejarah, kita bisa mengetahui ke arah mana perjalanan historiografi dunia kelak di masa depan.

Historiografi Klasik
Berbicara mengenai historiografi, tentu tidak bisa mengesampingkan peran ilmuwan Yunani kuno yang suka mencari hubungan genealogis mereka dan menggambarkan kisah-kisah lama dalam bentuk syair kepahlawanan. Homerus mencatat kisah Illiad and Oddyssey dalam sebuah syair kepahlawanan yang begitu retoris dan sastrawi. Pengkisahan ini lambat laun berkembang menjadi sebuah tuntutan intelektual, dimana sejarah merupakan sebuah pengetahuan mengenai masa lampau yang diperlukan untuk mengetahui proses evolutif kekinian. Hal ini memunculkan gagasan untuk membuat sebuah historiografi dalam bentuk sebuah prosa, gagasan yang di-backing-i oleh sejumlah filsuf rasionalis saat itu.

Herodotus menjadi pionir dalam usaha prosanisasi historiografi, dimana ia menawarkan sebuah penulisan sejarah yang sistematis, memakai perspektif dari berbagai bidang ilmu, dan tidak terjebak pada keberpihakan. Tuchydides juga menampilkan kesegaran dalam perkembangan historiografi pada masa itu, dimana ia menjadi penulis sejarah yang anti terhadap sifat retorik, mengedepankan kritik sumber, menanggalkan mitos dan hal-hal yang bersifat epik, menyingkirkan segala hal yang berbau supranatural, sehingga ia menjadi seorang yang bisa dibilang “sejarawan sekuler” dan “bapak sejarah kritis”.

Dua aliran besar ini, dimana Herodotus merupakan ahli “sejarah kebudayaan” dan Tuchydides yang ahli “sejarah politik” menjadi aliran besar dalam penulisan sejarah saat itu. Hingga akhirnya Polybius muncul dalam kancah historiografi Yunani klasik dengan menggabungkan prinsip kedua sejarawan tersebut. Ia memegang teguh prinsip kritik sumber dan akurasi data Tuchyides dengan gaya bahasa serta multi-perspektif keilmuan a la Herodotus dalam menulis sebuah karya sejarah.

Netralitas menjadi unsur penting dalam sejarah, seperti yang dilakukan oleh ketiga tokoh yang telah kita bahas diatas. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi Titus Livius, dimana baginya sejarah adalah sebuah keberpihakan dan kebanggaan. Subyektifitas yang tinggi dan sifat-sifat nasionalis dalam karya Livius. Ia memandang sejarah adalah sebuah ilmu pengetahuan sekaligus seni; dimana fakta, mitos, keajaiban, dan isyarat-isyarat supranatural ia campur-adukkan dalam karyanya. Ia adalah seorang penulis sastra yang sangat baik, tetapi mungkin bukan merupakan contoh penulis sejarah yang baik. Penghormatannya yang berlebihan terhadap Romawi merupakan contoh buruk dalam sebuah penulisan sejarah.

Keberpihakan ini nantinya akan menjadi sebuah proses penting dalam kemunduran karya-karya historiografi zaman klasik. Pengagungan terhadap satu sosok tertentu dan keberpihakan terhadap golongan tertentu ini kelak akan dimanfaatkan oleh golongan Kristen yang akan meletakkan prinsip-prinsip ketuhanan pada umat manusia saat itu. Proses-proses ini yang kelak akan dimainkan oleh Marcus Aurelius (Variae), Procopius (History of His Own Time), Uskup Gregorius (History of The Franks), dan yang lainnya.

Historiografi Gerejasentris
Penulisan sejarah bergaya Livius menjadi populer pasca kekalahan paganisme atas agama Kristen. Caesar Constantine yang menetapkan agama Kristen sebagai agama negara pasca Konsili Nicea menggelorakan semangat anti-pagan dan kristenisasi di kalangan biarawan dan pendeta-pendeta kristen. Penulisan sejarah pun mengikuti zeitgeist (jiwa zaman) saat itu, bahkan para pendeta dan uskup ini ikut menulis sejarah. Kini sejarah bukan milik para ilmuwan dan filsuf, tetapi juga agamawan dan tentunya: penguasa.

Prinsip yang mendasarkan segala hal pada “keimanan-ketuhanan” menjadi dasar penulisan sejarah kala itu. Hal ini tentu saja meminggirkan prinsip kepercayaan terhadap unsur alam, pengetahuan, rasionalitas, akal-budi, atau yang bisa kita sebut sebagai pagan. Unsur propaganda (penyangkalan) terhadap paganisme menjadi perhatian utama dibandingkan analisis kritik sumber. Hal ini menimbulkan sebuah pertarungan antara tulisan-tulisan yang bersifat sekuler dan religius, dan akhirnya kekhasan abad pertengahan pun muncul: hampir semua tulisan bersifat pengagungan terhadap sejarah Yahudi dan meminggirkan sejarah Yunani-Romawi klasik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun