Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Mengapa Harus Pancasila?

1 Juni 2017   10:59 Diperbarui: 1 Juni 2017   12:11 1807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepanjang era orde baru Pancasila tampil sebagai political force, Presiden Soeharto berulang kali menyampaikan jika ada yang berani mencoba untuk mengganti, merubah, menyimpang dari Pancasila pasti akan digagalkan. Lahirnya asas tunggal pada zaman ini membuktikan Pancasila diupayakan agar menjadi satu satunya asas, aspirasi dan ide. Karakteristik dari parpol maupun organisasi lain tidak diperbolehkan. Upaya menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal mendapat reaksi yang beragam dikalangan masyarakat, reinforce ini cenderung menuai protes dari kaum agamawan. Bahkan asas tunggal mengingkari Kebhinekaan yang terdapat di Indonesia. 

Orde baru yang cenderung represif dan otoriter, pembredelan media sebagai salah satu pilar demokrasi terus terjadi. Diakhir tahun  90-an interaksi masyarakat dengan dunia luar semakin terbuka lebar, demokrasi dan kebebasan berpendapat menjadi isu penting yang digelorakan oleh kaum intelektual atas sikap pemerintah. Pemerintah dianggap gagal menjaga marwah Pancasila selain itu masalah kkn dan krisis global, mendorong mahasiswa berunjuk rasa dan menduduki gedung DPR-MPR, menuntut agar pemerintahan orde baru dicukupkan . Orde Baru tumbang ditandai dengan pidato pemunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Era reformasi yang dimulai sekitar 19 tahun yang lalu membawa harapan baru terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa yang terjadi ? upaya indoktrinasi Pancasila pada saat orde baru membawa trauma psikis masyarakat. Pancasila beberapa waktu belakangan ini malah cenderung dikesampingkan, letupan-letupan sparatis yang mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi di beberapa daerah. Presiden Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto, melepas Timor Timur (Timor Leste) melalui jajak pendapat. 

Gerakan Aceh Merdeka (diakhiri dengan MoU Helsinki pada era SBY), Organisasi Papua Merdeka dan lain sebagainya menjadi hantu yang menggentayangi keutuhan NKRI. Terorisme yang sampai saat ini masih berada sangat dekat dengan masyarakat, terakhir masih kita rasakan teror bom yang terjadi di Kampung Melayu, Jakarta. Gerakan ekstrimis dan radikal berusaha menggantikan Ideologi Pancasila dengan sistem Khilafah. Dalam bidang budaya seakan jati diri bangsa mulai tergerus oleh lebih ditauladaninya budaya bangsa lain. Tetap terjadi ketimpangan pembangunan perekonomian dan kesenjangan antara miskin dan kaya.

Belum semua masyarakat mampu merasakan pelayanan kesehatan yang sama, BPJS sebagai sebagai badan yang menyelenggarakan jaminan kesehatan. Masih belum dapat menciptakan Universal Health Coverage sesuai dengan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jaminan kesehatan belum mampu diserap oleh masyarakat yang berada di daerah terpencil, terpinggir dan terluar. 

Bidang politik juga mengalami krisis, wawasan kebangsaan dan persaudaraan hanya menjadi cita cita mulia dalam angan, menggunakan agama sebagai komoditi dan piranti memperoleh kekuasaan. Kekuasaan digunakan untuk mensejahterakan beberapa golongan, kekuasaan hanya digunakan memuaskan libido pemegang jabatan. Moral yang makin tergerus, tata krama, sopan santun mulai ditinggalkan akibat derasnya gempuran globalisasi. Rangkaian fenomena tersebut seakan bertanya, kemana arah reformasi dan demokratisasi Indonesia?

Pemuda Indonesia harus pasang badan, upaya apapun yang mencoba menggoyang Pancasila harus digebuk! Modal dasar kita kuat, religius memiliki arti sangat penting dalam keadaan saat ini. Masyarakat Indonesia ketika berbicara masalah agama adalah suatu makanan pokok, ketika Pancasila kita maknai sebagai sebuah perjalanan dimana muaranya adalah sila kelima yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka sila kedua, ketiga dan keempat semua dijiwai oleh sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga paradigma yang terbangun adalah ketika kita bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui kaidah agama kita masing-masing, kita akan berusaha menjaga nilai nilai kemanusiaan, persatuan dan kesatuan serta permusyawaratan dan perwakilan. Hal ini diutarakan oleh Prof Notonagoro bahwa Pancasila sebagai sistem nilai yang berbentuk piramida dengan sila pertama sebagai dasar keempat sila lainnya. 

Dalam penjelasannya, sila kedua dijiwai sila pertama dan menjiwai sila ketiga, keempat, dan kelima. Sila ketiga dijiwai sila pertama dan sila kedua serta menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat dijiwai sila pertama, sila kedua, dan sila ketiga serta menjiwai sila kelima. Sedangkan sila kelima dalam sistem piramida tersebut berada di puncak atau sebagai tujuan akhir untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Paradigma ini sangatlah relevan dengan ajaran Manava Seva Madava Seva (ketika kita melayani masyarakat sama halnya dengan kita melayani Tuhan) dalam Hindu ataupun ajaran HabluminAllah Habluminannas (keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia ) dalam Islam.

Makna penting dari renungan yang sangat sederhana ini adalah keutuhan sebuah komitmen pergerakan, bahwa warisan adiluhung peradaban Nusantara yang menjadi perekat kemajemukan Indonesia, nilai nilainya menjadi sangat relevan dari jaman ke jaman dan disinilah Pancasila mengambil peranan.

Merdeka !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun