Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi sumber informasi utama bagi banyak orang, terutama generasi muda. Salah satu platform yang paling berpengaruh adalah TikTok, dengan jutaan video singkat yang menyajikan berbagai topik termasuk kesehatan mental. Namun, ada satu tren yang kini menjadi sorotan fenomena self diagnosis atau mendiagnosis diri sendiri dengan gangguan psikologis hanya berdasarkan konten yang dilihat di TikTok.
Apa Itu Self Diagnosis?
Self Diagnosis adalah tindakan seseorang menilai dan menentukan sendiri kondisi kesehatannya tanpa konsultasi dengan tenaga medis profesional. Dalam konteks TikTok, banyak pengguna merasa memiliki gangguan seperti ADHD, bipolar, depresi, gangguan kecemasan, atau borderline personality disorder hanya karena merasa cocok dengan gejala yang dijelaskan dalam video.
Meskipun beberapa konten bertujuan edukatif, tidak sedikit yang justru menyederhanakan kondisi psikologis menjadi "ceklist gejala" yang terlalu umum. Misalnya, seseorang bisa merasa "pasti punya ADHD" karena sering lupa atau sulit fokus, padahal hal itu bisa disebabkan oleh banyak faktor lain seperti stres atau kelelahan.
Mengapa Tren Ini Marak di TikTok?
Ada beberapa alasan mengapa self-diagnosis semakin populer di TikTok:
Akses Informasi yang Mudah
TikTok memberikan informasi secara cepat dan visual. Konten berdurasi 15-60 detik bisa menyajikan ringkasan gejala atau pengalaman pribadi yang relatable bagi penonton.Kurangnya Akses Kesehatan Mental Profesional
Di banyak negara, termasuk Indonesia, layanan kesehatan mental masih mahal, terbatas, dan memiliki stigma. TikTok menjadi "alternatif murah" untuk mengenal diri sendiri.Validasi Sosial
Banyak pengguna merasa lega saat tahu ada orang lain yang mengalami hal serupa. Komentar seperti "aku banget ini!" atau "jadi selama ini aku ADHD?" menunjukkan bahwa banyak yang menemukan kenyamanan melalui video semacam ini.Algoritma TikTok yang Personal
TikTok menggunakan sistem rekomendasi yang sangat personal. Jika seseorang pernah menonton video tentang kecemasan, algoritma akan terus menampilkan konten serupa, memperkuat persepsi bahwa mereka memang memiliki kondisi tersebut.