Mohon tunggu...
Cahyana Endra Purnama
Cahyana Endra Purnama Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mendapatkan pendidikan dasar sampai menengah di Yogyakarta, lulus sarjana ekonomi di UGM, melanjutkan program master di Wheaton MI, dan program doktor di Biola University California. Sekarang masih menjadi dosen di PTS di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Masalah Penguasaan Laut Cina Selatan dan Posisi Indonesia untuk Aktif Mengawasi

17 Desember 2020   23:26 Diperbarui: 17 Desember 2020   23:30 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Kawasan laut di wilayah Asia Timur yang membentang dari Indonesia di ujung selatan dan dalam kebersamaan di beberapa negara ASEAN, yang membujur ke utara melewati Taiwan, biasanya disebut dengan nama Laut Cina Selatan (LCS). 

Kawasan laut yang merupakan jalur lintasan kapal-kapal dagang maupun wisata yang menyambung dari Selat Malaka maupun penerus jalur laut internasional (ALKI) di Selat Sunda untuk menuju ke Korea dan Jepang ini, secara geografis memang tetap menjadi sangat padat oleh aneka ragam angkutan laut. 

Tambahan lagi, jalur lintas maritim itupun merupakan penghubung kota-kota besar yang tersebar sejak dari Jakarta di Indonesia yang berdekatan dengan Singapura, Hongkong, Taipei dan terus menuju ke Seoul maupun Tokyo di wilayah Utara.

Ramainya lalu-lintas kapal yang menggunakan jalur perdagangan di wilayah LCS tersebut, selain memberi manfaat yang besar bagi banyak negara di wilayah yang dilewati juga merupakan sebuah potensi ekonomi yang besar dan sekaligus menjadi kekuatan untuk menarik tumbuhnya aneka ragam industri yang terkait.

Lebih-lebih jika dihubungkan dengan potensi kekayaan sumber daya alam maupun perikanan yang terkandung di dalamnya, negara-negara yang secara geografis memang memiliki hak maritim untuk mengelolanya justru dapat memperoleh keuntungan yang banyak. 

Dengan demikian tidak mengherankan jika industri yang berhubungan dengan kegiatan penangkapan ikan telah bertumbuh dengan pesat di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Cina, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang.

Mengingat pada potensi ekonomi yang  besar dari berkembangnya bidang perdagangan maupun pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya hayati yang ada di LCS, apalagi perkembangan teknologi memang sudah dapat dipergunakan untuk menggali dan mengolah potensinya, maka negara-negara yang berdekatan perlu saling menghargai batas-batas wilayah yang boleh dimanfaatkan secara bijaksana. 

Dalam dunia kemaritiman, undang-undang yang dipakai sebagai dasar untuk saling bersepakat dalam pengelolaan itu sudah dikukuhkan dengan nama UNCLOS (United Nation Convention of the Law of Sea) yang mendapat persetujuan di bawah pengawasan PBB pada tahun 1982. 

Dengan memperhatikan ketentuan yang sudah disepakati itu maka terkait dengan pengelolaan wilayah laut, bagi masing-masing negara memang memperoleh hak untuk menggarap lahan laut yang dikenal sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sampai sejauh 200 mil, yang ditambahkan dari garis kedaulatan laut yang selebar 12 mil yang diukur dari pantai. 

Jika wilayah laut di antara negara-negara yang berdekatan (bertetangga) ternyata  ada kemungkinan untuk bertumpang-tindih maka di antara mereka perlu ada kesepakatan bersama yang diatur secara unik, baik bilateral maupun multi-lateral.

Wilayah LCS pada masa yang lalu memang terasa aman, namun kemudian setelah memasuki dekade 1990-an telah berkembang menjadi suatu sumber masalah yang semakin pelik dan menganggu perdagangan internasional, karena secara sepihak ternyata RRC telah mengajukan pernyataan bahwa sebagian besar dari kawasan laut itu merupakan hak maritim yang diwarisi sejak milenium pertama, ketika dalam sejarah dicatat adanya kapal-kapal Cina yang disebutkan telah mengarungi wilayah laut itu, sehingga untuk saat ini lalu dinamakan sebagai daerah Sembilan Garis Putus-putus (9 Dash-line). 

Dengan menekankan pada pernyataan itu maka RRC secara praktis menganggap dirinya berhak untuk menguasai hampir 90% wilayah laut yang dikenal dengan nama LCS, bahkan pada saat ini telah dengan tegas membangun pangkalan militer di kepulauan Paracel maupun Spratly.

Selain itu, RRC juga sering menggerakkan kapal-kapal penangkap ikan di wilayah itu, padahal secara praktis hal tersebut justru telah menggusur hal pengelolaan ZEE dari negara-negara lain di ASEAN. Sebagai akibatnya, negara Filippina mengajukan protes keras dan mengajukan gugatan ke pengadilan internasional di Den Hag (Belanda).

Permasalahan sengketa di antara RRC denfan negara-negara anggota ASEAN ternyata tidak berhenti, walaupun pihak Pengadilan Internasional telah menyatakan bahwa  RRC sebagai negara yang sudah dengan jelas melanggar UNCLOS 1982.

Wujud dari tindak yang menentang ketetapan pelanggaran itu  juga diperuncing lagi dengan melibatkan kapal-kapal penjaga pantai (Coast Guard) untuk mengawal kapal-kapal nelayan dan sering mengusir kapal-kapal nelayan dari negara ASEAN yang sebetulnya masih melakukan kegiatan di wilayah masing-masing. 

Ketegangan sengketa masalah penguasaan Laut di wilayah LCS menjadi semakin besar ketika RRC sering melakukan latihan-latihan militer disitu, bahkan kegiatan tersebut dilaksanakan dengan sekaligus mengumumkan agar kapal-kapal negara lain tidak boleh melintas di area latihan, sekalipun sebetulnya tetap merupakan jalur perdagangan laut internasional. 

Sebagai akibat lebih lanjut dari kenekatan RRC untuk bertindak seakan-akan sebagai penguasa di wilayah LCS tersebut sudah barang tentu menyebabkan banyak negara lain yang turut mengajukan protes dan mengingatkan kembali agar RRC tetap berpegang juga pada ketetapan UNCLOS 1982 yang dulu telah juga diratifikasinya. 

Dengan dipelopori oleh Amerika Serikat, negara-negara lain yang mengajukan gugatannya juga datang dari Australia, Inggris, Jerman, Jepang, maupun India. 

Tindakan negara-negara yang melakukan gugatan tersebut bahkan sudah diwujudkan dengan cara mengirimkan kapal-kapal perang yang digerakkan untuk tetap melintas di wilayah LCS walaupun pihak RRC sedang mengadakan latihan militer di lingkungan wilayah Sembilan Garis Putus-putus. 

Hal ini berarti bahwa pada sesungguhnya telah terjadi ketegangan sengketa yang sedemikian tinggi di antara RRC dengan berbagai negara di dunia, sehingga kemungkinan untuk terjadi pertempuran besar memang dapat saja terjadi kapan saja, karena RRC memang tetap tidak mengindahkan hasil ketetapan Pengadilan Internasional maupun pasal-pasal yang dimuat dalam UNCLOS 1982.  

Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang juga ikut terkena imbas dari ketegangan di area LCS itu setidaknya juga tidak dapat tinggal diam. Selain mengajukan Nota Diplomatik atas pelanggaran kapal-kapal nelayan maupun kapal penjaga pantai milik  RRC yang telah memasuki wilayah ZEE di laut Natuna Utara, Indonesia pada saat ini juga telah mengembangkan sebuah pangkalan pertahanan terpadu di kepulauan Natuna, bahkan ditandai dengan hadirnya Presiden di wilayah tersebut, semua itu sebenarnya merupakan peringatan yang tegas kepada RRC agar tidak lagi bermain api di wilayah Laut Natuna Utara.

Bersama dengan itu, walaupun Indonesia dengan tegas juga tetap pada konstelasi penerapan politik luar negeri yang bebas dan aktif, jika kemudian terpaksa terjadi perang besar di antara RRC yang mengambil resiko melawan berbagai negara lain, peran Indonesia itu pada tahap pertama juga perlu bersikap waspada untuk menjaga agar keamanan dalam negeri tetap dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya, apalagi ibukota Jakarta juga masih berada dalam jangkauan untuk digempur dengan peluncuran roket jarak jauh dari pihak RRC. 

Selain dari itu, dalam kebersamaan di antara negara-negara ASEAN maka peranan Indonesia juga harus bersiap untuk menjadi pelopor, baik karena memang memiliki kekuatan pertahanan yang terbesar di kawasan ASEAN, maupun dalam rangka mewujudkan gelar memperlemah sistem pertahanan  RRC dari wilayah selatan dan dalam penghentian pasokan bahan pangan.

Konsekuensi dari terjadinya perang besar di kawasan LCS memang mengandung resiko yang besar bagi hancurnya kota-kota utama di negara anggota ASEAN. 

Namun demikian dengan penguatan sistem pertahanan di Natuna maka Indonesia tentu saja juga akan mampu memperkecil resiko tersebut, bahkan sekaligus dapat membantu negara tetangga terdekat, terutama dengan memperhitungkan adanya kekuatan gabungan dari banyak negara lain yang sampai sejauh ini juga telah berada di belakang kesiapan Amerika Serikat yang sudah tentu juga telah memiliki landasan perhitungan strategis tersendiri.

Suatu hal lain yang perlu juga untuk diperhatikan bersama pada akibat yang paling buruk di dalam ketegangan di LCS, yaitu jika benar-benar terjadi peperangan, jika RRC ternyata mengalami kekalahan dan negaranya terpecah maupun mengalami kerusakan parah , maka Indonesia dan negara-negara di lingkungan ASEAN juga harus bersiap-siap untuk menerima kemungkinan adanya banjir pengungsi, mungkin sampai ratusan juta orang. 

Dengan demikian, konsekuensi dari terjadinya peperangan memang berat pula bagi dunia internasional, yaitu dalam hal menanggung beban kesehatan dan masalah sosial demografis yang tidak kecil. 

Dalam hal ini Indonesia dapat menjadi negara yang paling banyak menerima pengungsi dari RRC itu, lengkap dengan akibat sosial demografis yang dibawanya, suka maupun tidak suka, bahkan dengan sekaligus menghadapi kemungkinan mandegnya proyek-proyek infrastruktur yang sejauh ini sudah mulai dikerjakan oleh para ahli dari negeri Tirai Bambu tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun