Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan Mesti Dibunuh!

30 Juli 2018   15:44 Diperbarui: 30 Juli 2018   22:21 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dear, Nietzsche ...

Apabila benar tuhan telah mati, maka aku menyangsikannya

Sebab kulihat hari ini, tuhan masih hidup

Dan aku berencana membuatnya benar-benar mati.

Sebelum melangkah lebih jauh ke pertanyaan “Kenapa penulis ini ingin membunuh tuhan?”, atau “kenapa penulis berani, meski hanya dalam benaknya, berpikir untuk membunuh tuhan?”, saya akan menguraikan terlebih dahulu alasan saya sehingga berani mengeluarkan statement ini. Saya sangat tahu, banyak orang di luar sana, bahkan barangkali, anda yang sedang membaca tulisan ini akan berpikir bahwa saya ini seorang ateis, kafir, dzolim, atau sejenisnya. Saya tidak berkeberatan jika harus menyandang predikat tersebut. Toh di dalam buku ini saya tidak asal bicara. Saya sangat serius dengan pernyataan saya, bahwa tuhan memang mesti dibunuh. Kenapa? Karena memiliki tuhan itu merepotkan! Memiliki tuhan benar-benar telah merampas hak kita untuk hidup bebas. Kita harus menimbang baik dan buruk, benar dan salah, etis dan tidak etis, bermoral dan tidak bermoral, suci dan hina, dan sebagainya. Bukankah itu memuakan? Saya pribadi merasa demikian. Bukankah setiap manusia memiliki hak untuk berhendak—dalam artian ini bebas menentukan keinginannya? Bila anda sependapat dengan saya, saya sangat gembira. Saya ingin mengajak anda untuk keluar dari kekangan tersebut. Kekangan nilai-nilai konvensional yang puncak kearifannya benar-benar absurd, relatif, dan tentatif. Saya tidak ingin kebebasan saya terenggut oleh hal-hal yang sebenarnya hanya berlandaskan konvensi. Bagi saya nilai itu objektif, absolut, dan tetap. Sesuatu yang abu-abu, abstrak, relatif, itu tidak bisa disebut sebagai nilai. Berbicara tuhan adalah berbicara nilai. Setiap orang yang konon bertuhan pasti sangat apik dalam menjalani hidup dengan tolok ukur nilai tersebut. Ya, saya akui, bahwa nilai itu penting. Namun, sebelumnya kita harus mampu menelaah kembali nilai yang hendak kita capai itu nilai yang seperti apa. Jangan-jangan hanya nilai semu yang manipulatif. Jangan-jangan selama ini kita hidup dalam paradoks. Hidup yang tidak bermakna tidak layak untuk dihidupi. Begitulah kata Socrates. Filsuf besar Yunani tersebut memiliki sudut pandang khusus mengenai pemaknaan. Sesuatu tentu bermakna karena memiliki nilai, atau disepakati, minimal oleh diri kita sendiri, memiliki nilai. Makna adalah sesuatu yang bernilai, dan nilai saat ini menjadi sesuatu yang relatif. Berangkat dari relativitas tersebut, saya yakin bahwa kita semua telah memandang tuhan melalui sudut pandang serupa. Bahwa sesuatu dapat dikatakan tuhan karena adanya pengaruh, ajaran, dan doktrinisasi dari suatu lingkungan yang menganggap sesuatu itu, tentu saja, memiliki nilai, sehingga layak dikategorikan sebagai tuhan. Mengangkat sesuatu sebagai tuhan tentu harus melalui sortir yang sangat ketat. Pengklasifikasian tersebut akan bertanding dengan rasio (logika) dan rasa (perasaan). Jika pada akhirnya dalam suatu konvensi meloloskan sesuatu tersebut dari syarat-syarat yang ditentukan sehingga berhak menyandang nama ‘tuhan’, tentu saja semua yang menyepakatinya akan memiliki perspektif serupa—yaitu menganggap sesuatu tersebut adalah tuhan, pada akhirnya secara dogmatis. Melalui ini sangat jelas bahwa segala sesuatu itu digolongkan, dinamai, dipandang, melalui kesepakatan bersama, tentu atas dasar ketentuan penelaahan yang komprehensif.

Sudah terlalu lama kita sibuk bertuhan, sehingga kadangkala, membuat kita lupa bahwa kita adalah manusia. Ketika kita berupaya melakoni hidup sebagai manusia, kita, mau tidak mau, dipaksa untuk kembali bertuhan. Memiliki tuhan benar-benar merepotkan! Satu hal lagi, memiliki tuhan juga acapkali membuat kita terbatas, terkekang, terkungkung, terpasung, dan terdikte. Ya, demikianlah konsekuensi memiliki tuhan. Kemerdekaan sebatas menjadi kembang bibir yang semerbak mewangi namun tak berarti apa-apa—omong kosong. Selama kita memiliki tuhan, kita tidak bebas. Seperti kata Nietzsche, manusia memiliki kehendak untuk bebas. Dan apakah kebebasan itu? Yaitu bahwa orang memiliki kehendak untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Saya teramat setuju bahwa manusia memiliki kebebasan dan hak prerogatif dalam menentukan jalan hidupnya masing-masing. Dan kenyataan memiliki tuhan benar-benar telah merampas kebebasan tersebut. Sudah seharusnya revolusi digalakan. Sudah seharusnya kita menembus batas dan melecut individualitas untuk merdeka dari penjara ketuhanannya. Kepercayaan adalah penjara. Nietzsche kembali mengingatkan kita, bahwa apa yang kita yakini ternyata hanya memberi batasan-batasan dan menahan ekspansi ekperimental, juga struktural. Kita dihalau oleh prinsip-prinsip transendental, ucap Immanuel Kant, sehingga enggan untuk menguji kembali keabsahan suatu hal karena merasa hal tersebut di luar jangkauan kita. Jeruji besi adalah hal semu yang menelusup hingga ke palung batiniah kita dan menguncinya agar tidak sesekali berenang ke permukaan. Penjara merupakan batasan-batasan berpikir yang memaksa kita menciptakan suatu kredo radikal.

            Di era ini, dapat kita saksikan sebagian besar orang sibuk bertuhan sehingga menanggalkan etika dan estetika bertuhan secara substansial. Kita telah terbelenggu dalam cengkraman materialisme. Bukti hal ini adalah kita melakukan peribadatan melalui perspektif konsumerisme. Dan, yang paling memilukan, adalah bahwa kita menghamba pada segala sesuatu yang diyakini dapat menjadi oase bagi kehendak yang semula terkulai dalam kenyataan yang tandus. Selama hidup, kita sibuk bekerja. Bekerja yang konon adalah representasi dari ritus spiritual secara horizontal. Namun, bekerja yang seperti apa dan untuk tujuan apa? Kita dihidupkan, menjalani hidup, dan menyajikan hidup semata untuk tuhan. Pekerjaan adalah piranti fundamental, dalam hal ini dimaknai aktivitas, dalam menopang dinamika kehidupan agar berlangsung secara esensial dan optimal. Manifestasi dari tuhan adalah cinta, dan cinta adalah poros dari pusaran kebahagiaan. Kita bekerja—menjalani hidup—sudah barang tentu untuk mencapai tuhan, mencapai kebahagiaan, mencapai cinta. Kita telah berjuang keras untuk bekerja, bahkan kita rela merangkak, mengemis, membunuh, menipu, dan menjilat agar dapat bekerja. Yang saya pertanyakan adalah, apa benar kita bekerja semata untuk menuju tuhan? Saya tidak terlalu yakin. Sebab, jutaan orang pasti kalap apabila bekerja tanpa mendapat upah (red: materi/uang). Segala goal dalam hidup kita ternyata menuntut eksistensi—sesuatu yang keberadaannya konkret. Manifestasi dari tuhan, kebahagiaan, dan cinta ternyata, secara konvensional, telah ditentukan. Tujuan yang tidak terelak dalam berkehidupan adalah benda materialis. Benda konkret. Benda yang disepakati dapat memberikan cinta dan kebahagiaan. Apa itu? Jawabannya adalah ‘tuhan’. Nah, bila kata tuhan masih terlalu transenden untuk disepakati sebab tidak bisa dijangkau paradigma indrawi, kita analisis bersama. Manusia bekerja untuk mencapai tuhan, yang abstraksinya adalah cinta dan kebahagiaan. Manusia akan kalap bila bekerja tanpa mendapat upah. Bisa kita simpulkan melalui silogisme, upah (materi/uang) di sini dapat menjadi manifestasi tuhan secara konvensional.

            Berkaitan dengan keyakinan yang membuat kita terpenjara, menurut Nietzsche, adalah bahwa kita sepakat meyakini bahwa sesuatu itu bernilai atau bermakna. Cinta dan kebahagiaan tentu saja akan akan memberikan nilai atau makna, secara fundamental. Dan, proyeksi kita dalam bekerja adalah menuju tuhan, menuju manifestasinya yang telah disepakati bersama, baik secara eksplisit maupun implisit—uang. Keyakinan kita dalam memandang uang sebagai manifestasi tuhan tentu akan memenjarakan kita. Apa buktinya? Kita akan terus menerus bekerja, bukan karena prinsip kodrati, tetapi untuk menimbun ‘tuhan’ tersebut. Paradigma kita terskema secara dogmatis untuk menggantungkan harap pada uang. Dan keyakinan tersebut selama ini telah memenjarakan kita, memberi batasan, kungkungan, kekangan, agar kita tidak bisa berpaling darinya. Kita dipaksa merevisi kembali keyakinan primitif kita dalam memilah baik dan buruk, benar dan salah, etis dan tidak etis, bermoral dan tidak bermoral, suci dan hina, semata-mata untuk memiliki uang. Uang telah menjadi tuhan di era modernitas, dan membuat kita merekonstruksi hampir keseluruhan nilai absolut moralitas dengan dalih realitas. Kita telah benar-benar terpasung dalam gerak yang monoton dan tumpul sehingga tidak bisa kembali mendekonstruksi paradigma berketuhanan yang telah sedemikian krusial. Kita telah merumuskan inkarnasi tuhan kita dengan wajah baru yang sadar maupun tidak, telah diimani bersama-sama.

            Saya benar-benar yakin, bahwa di zaman ini, mengutip amsal R.Ng. Ranggawarsita, kalathida (zaman edan), kita telah beriman pada alat tukar yang sama sekali tidak layak dipertuhankan. Menuhankan sesuatu yang menjadi musabab banyak tragedi, melahirkan penjilat-penjilat birokrasi, melahirkan koruptor-koruptor, melahirkan rohaniawan-rohaniawan komersial, melahirkan pejabat-pejabat mafia, melahirkan segala bentuk kemungkinan busuk yang menjangkiti setiap nurani manusia, berpotensi besar membuat kita akan mengalami kebutaan permanen dalam memahami dimensi spiritual. Tuhan yang satu ini benar-benar menjengkelkan. Ini hanyalah salah satu tuhan yang membuat tatanan kosmik berubah haluan menuju jurang ketumpulan. Terlalu banyak tuhan-tuhan di dunia ini, kita mesti membunuhnya satu persatu sehingga hanya tersisa satu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

TUHAN MESTI DIBUNUH!

Candrika Adhiyasa

Ketika menghabiskan kopi dan rokok di ruang sepi, 29 Juli 2018. 02.32 WIB.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun