Pendahuluan
Sebagai gereja dalam tradisi Presbiterial-Sinodal, GBKP memiliki sistem kepemimpinan kolektif yang didasarkan pada prinsip kesetaraan dalam pengambilan keputusan. Prinsip ini sejalan dengan model kepemimpinan gereja Reformasi yang didirikan oleh John Calvin, di mana kepemimpinan tidak dipusatkan pada satu individu, tetapi dikelola oleh kolektif para presbiter (elders) dalam semangat kolegialitas dan kolektivitas.[^1]
Namun, laporan dan observasi menunjukkan bahwa kepemimpinan Moderamen GBKP periode 2020--2025 menghadapi tantangan dalam menerapkan prinsip ini. Alih-alih berjalan secara kolektif dan sinergis, justru muncul fragmentasi internal, di mana sebagian pemimpin lebih berorientasi pada perebutan posisi dan pengaruh dibandingkan kerjasama untuk kemajuan gereja.
Jika benar bahwa kepemimpinan GBKP mengalami stagnasi karena dominasi kelompok-kelompok tertentu, maka hal ini bertentangan dengan prinsip Presbiterial-Sinodal sebagaimana tertulis dalam Tata Gereja GBKP 2015--2025, yang menegaskan bahwa kepemimpinan gereja harus bersifat kolektif, bukan individualistik.[^2]
I. Perspektif Teologis: Kepemimpinan Gerejawi dalam Tradisi Reformed dan Tata Gereja GBKP
1. Prinsip Kolektif-Kolegial dalam Kepemimpinan Gereja
Kepemimpinan Presbiterial-Sinodal mengacu pada struktur gereja yang dipimpin oleh majelis yang bersifat kolektif, bukan seorang pemimpin tunggal. Model ini bertumpu pada prinsip bahwa Kristus adalah Kepala Gereja, sementara para presbiter hanya bertindak sebagai pelayan yang dipercayakan untuk memimpin umat Allah.[^3]
Efesus 4:11-12 menegaskan bahwa kepemimpinan di dalam gereja bukan tentang kekuasaan, tetapi tentang pemberian Tuhan kepada jemaat untuk membangun tubuh Kristus.[^4] Namun, jika kepemimpinan GBKP saat ini lebih condong pada persaingan kekuasaan internal, maka itu menandakan bahwa nilai-nilai kolektif-kolegial telah dikaburkan oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
"Dalam sistem Presbiterial-Sinodal, gereja harus menghindari model kepemimpinan yang mengarah pada oligarki, di mana keputusan hanya ditentukan oleh sekelompok kecil elit gerejawi".[^5]
Dari perspektif Tata Gereja GBKP 2015--2025, seharusnya setiap anggota Moderamen memiliki tanggung jawab kolektif yang setara dalam pengambilan keputusan.[^6] Namun, jika terjadi kelompok-kelompok yang bertarung demi posisi, maka ini berarti struktur kerja kolektif tidak berjalan secara efektif.
2. Kepemimpinan Gerejawi dalam Alkitab
Alkitab menegaskan bahwa kepemimpinan gereja bukanlah tentang dominasi, tetapi tentang pelayanan dan pengorbanan:
- Matius 20:25-28: Yesus berkata bahwa pemimpin di gereja bukanlah mereka yang menguasai, tetapi mereka yang melayani.[^7]
- 1 Petrus 5:2-3: Para penatua harus menggembalakan jemaat dengan kasih, bukan karena ambisi pribadi atau dorongan untuk berkuasa.[^8]
- Roma 12:4-5: Semua anggota tubuh Kristus memiliki fungsi berbeda, tetapi mereka harus bekerja sama untuk kepentingan bersama.[^9]
Jika ada friksi atau persaingan kekuasaan dalam Moderamen GBKP, itu menunjukkan bahwa pemimpin gereja lebih berorientasi pada posisi dan otoritas, daripada pelayanan dan kepentingan umat.
II. Perspektif Organisasional: Mengapa Kepemimpinan GBKP Tidak Produktif?
Masalah Struktural dalam Moderamen
Secara akademis, organisasi yang bersifat kolektif sering menghadapi tantangan dalam hal pengambilan keputusan yang efisien. Kepemimpinan berbasis kolektif bisa tidak efektif jika tidak ada mekanisme kerja sama yang jelas.[^10]
Beberapa faktor yang menyebabkan kepemimpinan GBKP tidak produktif adalah:
Kurangnya Visi Bersama
- Dalam organisasi gerejawi, keberhasilan kepemimpinan sangat bergantung pada adanya visi yang disepakati bersama.[^11] Jika setiap pemimpin memiliki agenda sendiri tanpa menyatukan tujuan bersama, maka kerja kolektif menjadi lemah.
Dominasi Ego Sektoral
- Dalam banyak organisasi gereja, ego sektoral bisa muncul ketika pemimpin lebih mengutamakan kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya.[^12]
Kurangnya Transparansi dalam Pengambilan Keputusan
- Jika kebijakan gereja lebih banyak ditentukan oleh kelompok tertentu dalam Moderamen, tanpa keterlibatan penuh dari semua anggota, maka ini menciptakan rasa ketidakpercayaan di antara pemimpin gereja.[^13]
III. Perspektif Sosiokultural: Pengaruh Budaya Karo dalam Kepemimpinan GBKP
Budaya Karo dan Pola Kepemimpinan Gereja
Dalam budaya Karo, terdapat beberapa prinsip yang lebih menekankan individualitas daripada kolektivitas:
- "Si tungkat-tungkat galuhna" -- yang menekankan pada kepentingan individu dan keluarga sendiri.
- "Sada gia manuk ta, gelah tekuak" -- yang menekankan keberanian individu untuk menonjol, meskipun sendirian.
Dalam konteks GBKP, prinsip-prinsip ini bisa berbenturan dengan nilai kolektif-kolegial, di mana kepemimpinan seharusnya dilakukan secara bersama, bukan sendiri-sendiri.[^14]
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
- Moderamen GBKP saat ini menghadapi tantangan serius dalam menerapkan kepemimpinan kolektif-kolegial yang efektif.
- Dinamika politik internal dalam tubuh Moderamen menunjukkan bahwa kepemimpinan gereja lebih terfragmentasi daripada bekerja dalam harmoni.
- Dari perspektif Alkitab dan Tata Gereja GBKP, sistem kolektif yang sehat seharusnya menghasilkan sinergi, bukan konflik internal.
- Budaya Karo yang lebih menekankan individualitas bisa menjadi salah satu faktor yang menghambat kerja tim dalam kepemimpinan gereja.
Rekomendasi
Reformasi Struktur Kepemimpinan
- Moderamen perlu menerapkan mekanisme yang lebih jelas untuk memastikan bahwa setiap anggota bekerja dalam satu visi bersama.
Penguatan Akuntabilitas dan Transparansi
- Keputusan-keputusan penting harus dikomunikasikan secara terbuka kepada jemaat untuk menghindari kecurigaan akan dominasi kelompok tertentu.
Pembinaan Kepemimpinan Berbasis Kolektif
- GBKP perlu memperkuat pelatihan kepemimpinan yang menekankan pada kerja tim, bukan individualisme.
Jika rekomendasi ini diterapkan, GBKP dapat bergerak maju sebagai gereja yang tidak hanya memiliki teologi yang kuat, tetapi juga kepemimpinan yang sehat dan efektif.
ReferensiÂ
[^1]: John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans. Henry Beveridge (Grand Rapids: Eerdmans, 1989), 4.1.
[^2]: Sinode GBKP, Tata Gereja GBKP 2015--2025 (Kabanjahe: GBKP, 2015), 22.
[^3]: Richard Baxter, The Reformed Pastor (Edinburgh: Banner of Truth, 1974), 98.
[^4]: Alkitab, Efesus 4:11-12 (TB).
[^5]: Abraham Kuyper, Lectures on Calvinism (Grand Rapids: Eerdmans, 1931), 78.
[^6]: Sinode GBKP, Tata Gereja GBKP 2015--2025, 34.
[^7]: Alkitab, Matius 20:25-28 (TB).
[^8]: Alkitab, 1 Petrus 5:2-3 (TB).
[^9]: Alkitab, Roma 12:4-5 (TB).
[^10]: James MacGregor Burns, Leadership (New York: Harper & Row, 1978), 452.
[^11]: Peter Northouse, Leadership: Theory and Practice, 7th ed. (Los Angeles: SAGE Publications, 2015), 117.
[^12]: Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership, 4th ed. (San Francisco: Jossey-Bass, 2010), 210.
[^13]: Max De Pree, Leadership is an Art (New York: Doubleday, 1989), 59.
[^14]: Johan Ginting, Budaya Karo dan Kepemimpinan Gereja (Medan: Pustaka Etnik, 2017), 134.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI