Mohon tunggu...
Byron Kaffka
Byron Kaffka Mohon Tunggu... Karyawan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ciuman di Akhir Senja

19 Februari 2017   14:21 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:32 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Ke tengah sawah gersang musim panas, Kang Rafdi bertelanjang dada, melangkah di atas pematang sawah, memangku Nyai Humaira, berbalut kain jarik. Terbentang di hadapan mereka seluas dataran tanah retak-retak.  “Seperti ini lah tanah retak yang terbunuh berkali kali, namun selalu mampu memulihkan diri (setelah hujan datang), membasuh nanti saat hujan turun, Maira.”

Kedua wajah mereka terpaut, Humaira menatap wajah Rafdi bertudung camping, terus Humaira bilang, “Serem yaa gambarannya, kalo di-zoom.” Dilihat dari dekat, maksudnya.

Rafdi menjawab, “Tapi tak sekejam itu dia memaknai takdir, Nyai. Banyak-banyak saja baca, banyak bersosialisasi sama masyarakat, biar tak  jadi katak dalam tempurung.” Mereka sedang membahas perihal puisi dalam budaya keseharian di sela kegiatan bertani dan berternak sambil mengembala kambing atau kerbau juga sapi.  Kehidupan di suatu wilayah terpencil, terisolir dari infrastruktur modern.

Salah satu budaya menarik di antara kegiatan-kegiatan pemuda di sana yang penduduknya sangat sedikit, adalah bercakap-cakap dengan alam lewat puisi dan filosofi yang mereka tulis kepada alam, bukit-bukit, sawah, ladang dan gembala yang mereka gembalakan di padang-padang rumput hijau, atau mengembara ke hutan, sejenak merasakan hidup sebagai kaum Peri.

Dalam percakapan puisi, mereka berbincang bahwa, “Bumi itu pemaaf, ya?” Suara halus Nyai mengambang di sela desau angin yang merambat di antara tanaman padi yang masih hijau, “Tidak pernah dendam sama langit yang kerap mengirimkan air bah.” Sahut Humaira, melingkarkan sebelah tangannya merangkul pundak Rafdi, dan sebelah tangan lainnya menyentuh janggut tipis yang mulai tumbuh di dagu lelaki yang memangku tubuh sintal si perempuan mungil, kuning langsat.

Sekonyong-konyong, Indra bocah tanggung muncul di belakang mereka yang menatap landscape langit sore, Sejoli yang mana lelakinya tengah membawa perempuannya dalam pangkuan, menatap sore yang layung kuning seperti tembaga. Begitu cara mereka menikmati kehidupan di suatu lembah terpencil, dekat perbukitan di kaki gunung.

Indra berceloteh mengomentari roman-roman mereka yang sedang membuat makna-makna perumpamaan filosofis tanah retak versi sejoli itu, “Bisa saja gambaran kayak begitu, diperumpamakan: retak tersisih; retak teraniaya; retak ulah ... beuh omongan orang yang pada bercinta-cinta’an, romantis beuud!”

Rafdi, menengok, tak lain ia menemukan kawannya Indra di belakang mereka, lelaki remaja berkulit coklat langsat itu biasa menginterupsi moment mereka. Entah karena bosan sendirian sambil menyendiri di cadas batu sungai. Bocah ini biasa membaca buku yang ia dapat bila diajak pamannya ke Ibu Kota, atau menulisi puisi yang akan dimasukan ke dalam botol, lalu  melarungkannya ke anak sungai, berharap seseorang membaca puisinya, dan jatuh cinta karena jiwanya.

Rafdi yang terbiasa memperbincangkan puisi bersama kawannya, lantas menimpali dengan kalimat indah serupa, tak kalah yang bocah lelaki itu punya, “tidak, bumi dan langit saling merindukan, mereka hanya bisa saling memberikan kasih sayangnya dari jauh, saat tanah sudah retak terbunuh, langit menangis dan menurunkan kasih sayangnya. Bumi yang tak mampu menjangkau langit hanya bisa melambaikan salam melalui dedaunan pohon-pohon yang tumbuh subur.”

Rafdi menambahi, “Jauh banget ya, Indra? Kalau jones kayak kamu memahami permisalan semacan itu.” Kadang secara usil, Rafdi iseng menggoda kawannya, sekaligus prihatin hanya ada satu bunga di desa dekat lembah ini, Humaira seorang.

Indra geram disindir nyinyir semacam itu, lanjut menimpali tak kalah nyinyir,  “Retak tersisih.. dengan retak terbunuh, hoalah! Duh nalarnya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun