Kata Bapak, "di langit sana ada suatu negri, Abie!" Mataku terarah ke pemandangan jendela, dekat Bapak terbaring lesu, dipasangi alat buat orang sakit katanya. Di luar hujan, angin menebuk ranting-ranting pepohonan, bergoyang meliuk.
Kadang orang dewasa sulit dipahami. Bagian yang kuingat perkataan Bu Guru di sekolah ketika aku terpaku memperhatikan bibir Bapak bersusah payah mengatakan, "Di langit sana ada suatu negri, Abie!"
Sesudahnya Bapak berusaha terlihat gagah menaikan telunjuk pada posisi tangan terhubung selang dan jarum dengan gemetar ke arah jendela. "Suatu saat setiap orang yang terlahir di bumi ini akan menempuh perjalanan ke sana."
"Negri seperti apa itu, Pak?" Apakah mirip Time Square Jkt, persimpangan jalan kota, seperti biasa Bapak mengajak Abie jalan-jalan ke sana. Ke Teater nonton Transformer mobil yang berubah menjadi robot-robot super, dan membeli es kream sepulangnya menonton. Pada senja Abie digendong sepanjang jalan Time Square.
"Suatu saat setiap orang yang terlahir di bumi ini akan menempuh perjalanan ke sana." Aku tidak menjawab apapun saat jemari Bapak semakin kuat menggenggam.
Aku menaikan tangan satunya seolah menguatkan sesaat Bapak dengan susah payah menarik nafas dalam. Entah apa yang ingin Bapak katakan, jika Bapak menanyakan apa yang kuinginkan saat ini, aku hanya ingin mengatakan, "Abie janji tidak akan nakal lagi, tidak jajan permen lagi, akan rajin belajar. Abie ingin Bapak pulang ke rumah sekarang."
"Jangkauan jarak tempuhnya tak terhingga." Bapak berusaha terus bicara, seolah ingin mempertahankan waktu agar kami tetap terhubung, sedapat yang Bapak mampu. Â "Suatu saat setiap orang yang terlahir di bumi ini, akan menempuh perjalanan ke sana."
Abie bertanya hal yang sama lagi, "Negri seperti apa itu, Pak?" Apakah mirip Time Square Jkt.
Ragu Bapak menjawab, "suatu negri yang tidak terdapat rasa sakit di dalamnya." Lalu nafasnya terasa semakin berat, tatapannya layu, seperti kembang bakung tak bertemu hujan.
Padahal tidak usah sok menghibur, jika sekedar ingin bilang selamat tinggal. Abie tahu Bapak akan meninggal, rasa-rasanya bosan mendengar tiap mulut yang mencoba untuk menjelaskan bahwa, "semua akan baik-baik saja, setelah Bapak selesai dirawat di rumah sakit, Abie."
Semua tidak baik-baik saja, ketika di suatu sore kemudian, aku adalah Abie. Bocah yang berdiri di antara para pelayat berbusana hitam, di tepi pusara Bapak, tepat berselang kami berbincang di ruang ICU lalu.