Mohon tunggu...
Zulkifli SPdI
Zulkifli SPdI Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Arab MAN 3 Solok dan MAN 2 Solok

Hidup akan benilai dengan amal shaleh, manusia akan berharga dengan kemanfaatannya bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tak Ada Ide, Maka Menulislah!

11 Maret 2020   13:17 Diperbarui: 11 Maret 2020   13:20 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada ide, maka menulislah. Begitulah sebuah ungkapan yang pernah disampaikan oleh beberapa orang penulis profesional yang menjadi guru penulis dalam berbagai pelatihan yang diikuti baik secara online maupun offline. Mendengar dan membaca kalimat itu terkadang memang sangat membingunkan. Betapa tidak, bagi penulis yang masih pemula ini, maka sebelum menulis tentu saja harus ada ide yang akan dituliskan. Kalau tidak ada ide, apa yang akan mau dituliskan?

Begitulah seperti anggapan beberapa penulis pemula lainnya yang sering kehabisan dan kehilangan ide untuk menjadi bahan tulisannya. Namun, setelah beberapa kali mencoba untuk terus menulis meskipun pada awalnya tanpa ide yang jelas, ternyata setelah mulai menulis maka ide-ide itu akan benar-benar datang. Tak salah memang pernyataan tersebut. Jika ide tidak muncul juga, berarti kita butuh jalan-jalan. Iya, jalan-jalan. Bukan berarti harus mondar-mandir tentunya. Kita bisa jalan-jalan keliling desa atau kota. Berbagai hal dapat kita jumpai dan bisa dijadikan ide dalam menulis.

Sebagai contoh sederhana saja, ketika kita melewati persawahan misalnya. Di sana kita menjumpai segerombolan anak-anak bebek yang berenang kian kemari mengikuti induknya. Walaupun induknya cuma satu ekor, tapi dia bisa mengawasi belasan anak-anaknya sekaligus. Coba kita bayangkan kalau kita yang jadi induk bebek itu! Sanggupkah kita mmengawasi anak-anak kita yang berenang sebanyak belasan orang itu? Ahh.. Penulis jadi ingat dengan beban kerja seorang guru PAUD dan TK yang harus mengawasi belasan bahkan puluhan anak-anak orang lain yang dititpkan kepada mereka. Nah... ini kan ide namanya. Menceritakan kisah perjuangan seorang guru dalam mendidik anak-anak yang bukan anak kandungya.

Begitu juga ketika melewati sebuah persimpangan jalan yang cukup ramai. Ada banyak aktifitas di sana. Ada orang tua yang akan mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, ada petani yang pergi ke sawah ke ladangnya, ada pedagang kaki tiga (he... he... he... Ini istilah penulis untuk pedagang yang hanya modal sepeda motornya) yang memarkir motornya di sepanjang pinggiran jalan yang membuat jalan kecil itu semakin sumpek. Belum lagi mereka yang membawa barang dagangannya kemudian berhenti di sembarang tempat karena sudah dipanggil-panggil oleh para pembeli yang berminat. Ini juga sebuah ide lagi, bagaimana masyarakat kita terkadang sangat egois terhadap sesama pengguna jalan umum itu. Padahal jalanan itu adalah jalan umum, siapa saja berhak menggunakannya tanpa harus berdesak-desakan dan berebut dengan para pedagang dadakan tersebut.

Di sisi lain, kita juga sering menjumpai jalan desa yang sudah tidak layak sebenarnya. Ketika musim hujan, jalanan itu tampak seperti kubangan kerbau saja. lubang menganga dimana-mana bercampur dengan lumpur dan air yang terus menggenang. Namun, ketika musim kemarau tiba maka jalanan itu akan penuh debu-debu dan kerikil-kerikil tajam yang siap mengancam keselamatan setiap pengendara yang melintas di sana. Keadaan bisa diperparah lagi dengan adanya aktifitas tambang galian C ataupun tanah di bukit pinggir jalan itu. Kendaraan proyek yang keluar masuk ke areal tersebut juga membuat suasana jalan semakin runyam saja. Siapakah yang akan bertanggung jawab menanggulanginya? Siapakah yang akan peduli? Entahlah... Yang jelas, ini juga sebuah ide yang layak untuk dituangkan dalam sebuah tulisan.

Dalam proses pengetikan ide-ide tersebut, penulis terkadang juga sering merasa bahwa ternyata respon tangan, jari-jemari dan mata belum secepat respon otak yang menangkap ide-ide cemerlang yang bergentayangan tersebut. Sehingga sering kali pikiran sudah sampai di ujung kalimat, ternyata baru tertuliskan separuhnya saja. alhasil, tombol backspace dan delete menjadi penyelamat ketika mengedit kembali tulisan tersebut. Untung saja mengetiknya tidak lagi menggunakan mesin ketik manual tempo dulu yang tidak memiliki kedua tombol tersebut.

Begitulah dunia tulis-menulis. Mengalir bagai air sungai nan jernih. Terkadang juga bak air di kedalaman sumur tua. Jika airnya jarang ditimba, maka airnya akan menjadi sedikit dan cenderung berlumut. Semakin ide-ide itu dituliskan walaupun itu sebuah ide sederhana sekalipun, maka semakin akan bermunculan ide-ide cemerlang lainnya. Seperti penulis yang menyiapkan tulisan ini dalam rangka mengisi waktu kosong menanti kendaraan siap dicuci di sebuah tempat cucian. Tak terasa sudah lebih dari 600 kata berhasil diketikkan dengan lancar. Jadi, pernyataan para penulis profesional tersebut memang benar adanya. Jika tidak ada ide, maka menulislah! Jika masih belum ada ide juga, maka jalan-jalanlah! Niscaya ide-ide itu akan muncul dengan sendirinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun