Mohon tunggu...
Zulkifli SPdI
Zulkifli SPdI Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Arab MAN 3 Solok dan MAN 2 Solok

Hidup akan benilai dengan amal shaleh, manusia akan berharga dengan kemanfaatannya bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Hafal Tanpa Paham

19 Februari 2020   15:12 Diperbarui: 19 Februari 2020   15:10 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

*disclaimer, cerpen ini sudah lebih dulu dimuat di laman gurusiana penulis

Malam itu, hujan terus menerus turun tergopoh-gopoh seakan tak hendak kami meneruskan perjalanan dari rumah ke rumah untuk memanjatkan segenap do'a dan mengumandangkan takbir di sekeliling desa. Maklumlah, malam itu adalah malam takbiran Idul Fitri. Sementara itu, payung yang ada pun tampak kepayahan demi mencegah kami agar tidak kebasahan. Sesekali terlihat kaki salah seorang kami secara tak sengaja menerjang genangan air yang cukup dalam. Karena terkejut, dia pun melompat dan membuat baju koko putih Angku Imam sedikit basah.

"Maaf, Angku! Saya tadi tak melihat ada genangan air, sehingga saya reflek melompatinya." Sahut Udin. Seorang pemuda kampung yang terkenal alim. Berperawakan sedang dengan baju koko dan kopiah hitam di kepalanya. Tak lupa pula dia melingkarkan kain sarung di pundaknya. Celana panjang yang dipakainya pun sudah digulung setinggi betis.

"TT Dj ya, Udin!" Teriak Mak Sutan dari belakang. Pria paruh baya itu ternyata mahir juga menggunakan bahasa gaul khas anak mudah seperti Udin. Walaupun kepalanya sudah memutih, tapi jiwa mudanya masih merah menyala-nyala.

Kami berlima pun sampai di depan pintu sebuah rumah kayu sudah mulai menua dimakan usia. Satu persatu anak tangga kayu itu berderik-berderik menahan berat kami semua. Tak lama berselang, terdengar bunyi khas pintu kayu ditarik dari dalam oleh yang punya rumah. Mak Sulai namanya. Nama panjangnya sebenarnya adalah Sulaiman. Namun orang-orang di kampung itu biasa memanggilnya dengan Sulai saja.

"Silahkan masuk semuanya! , Wah... ternyata ada Angku Imam, Mak Sutan, Udin, Mak Itam dan Amir juga."  Mak Sulai menyambut para tamunya dan mempersilahkan masuk.

Setelah duduk dan berbincang-bincang sejenak, acara berdo'a bersama itupun dimulai. Kali ini Angku Imam membukanya dengan memimpin pembacaan Tahlil dan juga takhtim yang diikuti oleh segenap orang yang ada di dalam rumah tersebut. Sedangkan Mak Sutan dapat giliran untuk memimpin  pembacaan do'a.

Bibir Mak Sutan terlihat komat-kamit membacakan untaian do'a. Terlihat jenggot hitam putih di dagunya juga ikut berayun mengikuti gerakan bibirnya. Sesekali terdengar juga suara aamiinnya para hadirin.

Namun, pada suatu kali hanya ada beberapa orang yang mengucapkan aamiin setelah Mak Sutan membacakan do'anya. Terlihat Angku Imam, Udin, Amir dan juga Mak Itam yang duduk di sebelahnya diam saja saling pandang satu sama lain. Mak Sutan tampaknya tak menyadari hal itu, terus saja bibirnya melantunkan do'a-do'a yang telah dihafalnya.

Selesai berdo'a, Mak Sulai pun menghidangkan beberapa makanan khas kampung itu. Seperti rendang daging, gulai ikan, telur dadar sampai telur mata sapi. Tak terkecuali sambalado jengkol dan petainya. Semuanya pun makan dengan lahap. Mungkin karena sudah kedinginan karena kehujanan tadi. Jam di dinging pun ikut berdentang dengan agak keras. Salah satu ujung jarumnya yang berwarna hitam menunjukkan angka sebelas. Sedangkan jarumnya yang lebih panjang dan berwarna merah menunjukkan angka dua belas. 

Selesai makan, Udin pun mendapatkan giliran untuk mengumandangkan takbiran diikuti oleh yang lainnya. Suaranya terdengar merdu dan sangat menyentuh qalbu. Sesekali terdengar suara desahan Amir yang sepertinya sudah mulai terasa mengantuk karena kekenyangan. Maklum dia makan dengan sangat lahap sehingga nyaris saja makanan itu menyesakkan dadanya.

Kemudian, mereka pun bersiap untuk kembali pulang setelah berpamitan dengansang tuan rumah. Di sepanjang perjalanan, Mak Itam terlihat seperti berfikir keras. Apa gerangan yang membuat orang-orang tidak kompak mengucapkan aamiin ketika berdo'a tadi.

Angku Imam yang sedari tadi memperhatikan Mak Itam pun akhirnya buka suara.

"Ada apa gerangan Mak Itam?" tanya Angku Imam

"Tidak ada apa-apa, Angku." Jawab Mak Itam datar.

"Pasti Karena do'a minta hujan yang dibaca Mak Sutan tadi kan, Mak Itam?" tiba-tiba Udin menyerobot pembicaraan Angku Imam dengan Mak Itam.

"Betul itu, Angku! Masa iya, kita sudah basah kuyup begini masih minta hujan lebat juga! Yang ada malah banjir atau bahkan galodo yang datang." Sahut Amir pula.

"Sabar-sabar dulu, mungkin Mak Sutan hanya hafal do'anya, tapi tidak paham maknanya. Makanya dia tetap baca do'a minta hujan juga walaupun hari sudah musim hujan. Nah, kalian yang masih muda ini, belajarlah betul-betul. Jangan asal dihafal saja, tapi juga pahami dengan baik apa yang dihafal itu." Jawab Angku Imam menjelaskan.

"Saya setuju itu, Angku!" Tutup Mak Itam

Untung saja, Mak Sutan tidak mendengar langsung perbincangan tersebut karena sudah terlebih dahulu pulang ke rumahnya yang terletak dua petak rumah dari rumah Mak Sulai. Setelah itu, Udin dan Amir pun berjalan beriringan menuju surau tua di ujung kampung untuk beristirahat. Sementara Angku Imam pun menuju rumahnya yang tidak jauh dari surau tersebut. Sedangkan Mak Itam harus berjalan sendirian menembus kegelapan malam agar bisa sampai di rumahnya di sudut lain dari kampung tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun