Mohon tunggu...
FF Butre
FF Butre Mohon Tunggu... profesional -

...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pasangan Pendidik

13 Mei 2011   06:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:46 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Taman Guru inilah pendidikan untuk para guru dijalankan. Taman Guru tidak saja mengajarkan keterampilan mengajar membaca, menulis, berhitung dan ilmu-ilmu lain, namun juga diajarkan,

"...bagi seorang guru Taman Siswa sangat penting lagi adalah kewajiban untuk mendidik para siswa menjadi patriot Indonesia dan menanamkan jiwa dan semangat patriotisme kepada mereka." (hal. 30).

Ali Chanafiah juga mengambarkan tentang betapa sederhana dan idealisnya para pengajar mereka di Taman Siswa. Para guru begitu sederhana dalam segala hal, baik itu berpakaian, berumah tangga dan berperilaku, tulis Ali Chanafiah (hal. 32). Selain itu ia juga mengambarkan teori pendidikan yang dianut oleh Taman Siswa, yaitu "Tricentra". Teori ini memuta bahwa ada tiga pusat pendidikan, yaitu sekolah, rumah tangga dan masyarakat atau organisasi kemasyarakatan. Taman Siswa mengambil dua dari tiga sentra itu sebagai kewajibannya, yaitu sekolah dan organisasi kemasyarakatan. Organisasi siswa bernama Persatuan Pemuda Taman Siswa (PPTS). Di organisasi inilah, para pelajar Taman Siswa mengaktualisasikan diri dalam beragam kegiatan.

Pada masa itu, selain belajar dan aktif di PPTS, Eyang (M. Ali Chanafiah) tak juga aktif juga di perguruan rakyat Taman Putra Indonesia (TPI), semacam sekolah informal yang diperuntukkan untuk anak-anak Indonesia yang tak mungkin bersekolah, baik di sekolah Belanda maupun sekolah nasional lainnya. TPI ini diprakarsai oleh seorang perempuan aktivis bernama Sri Panggihan, yang dinding rumahnya menjadi salah satu dinding gedek, yang digunakan sebagai kelas-kelas untuk belajar. Pada perkembangannya TPI ini bertambah maju. Datanglah permintaan dari kampung-kampung lain, untuk pendirian TPI. Mewakili TPI inilah, Ali Chanafiah mengikuti Kongres Pendidikan Indonesia yang pertama kali diadakan pada tahun 1935.

"Kongres ini melahirkan suatu pertukaran pikiran tentang kebudayaan Indonesia, sekarang dan di masa yang akan datang..."

Salmiah sendiri juga tak luput dari beragam aktivitas pergerakan pemuda pada masa itu. Mewakili Indonesia Muda cabang Jogjakarta, ia menghadiri kongres Indonesia Muda di Solo pada tahun 1935. Kongres ini berhasil menganti pimpinan Indonesia Muda lama yang dianggapa tidak cukup bersikap kerakyatan dengan pemuda-pemuda yang lebih kiri dan radikal. Selain aktif di Indonesia Muda, Salmiah akhirnya juga terlibat di TPI atas ajakan Ali Chanafiah. Sebagaimana yang dituturkannya,

"...Bukan main besar hati Eyang ketika berhasil menariknya (Salmiah-pen) untuk membantu usaha Eyang di TPI..." (hal. 39)

Pada tahun 1935, masing-masing mereka menamatkan pendidikan mereka. Ali Chanafiah menamatkan Taman Dewasa, sedang Salmiah telah lulus dari Taman Guru. Dimulailah fase baru dalam kehidupan mereka. Ali Chanafiah memutuskan untuk membantu Indonesia Berdjoeang di Surabaya. Sedang Salmiah menjadi guru di Taman Siswa cabang Sukabumi. Ungkapan kegembiraan Salmiah saat diterima menjadi Pamong Taman Siswa Sukabumi, ia nyatakan dalam bentuk:

"...Alangkah gembiranya hati. Bekerja! Mendapat sepiring nasi dari hasil kerja sendiri..." (hal. 68)

Babak baru dalam kehidupan sebagai pamong Taman Siswa diisi oleh Salmiah dengan mencurahkan segala perhatian dan kemampuannya pada pendidikan murid-muridnya. Selain kegiatan belajar mengajar di kelas, ia juga mengadakan beragam kegiatan kemasyarakatan. Selain juga bersama para murid Taman Siswa, pada setiap akhir tahun ajaran mengadakan pertunjukan sandiwara. Ketenangan mengajar di Taman Siswa Sukabumi ini sempat terganggu ketika ruangan sekolah dan kamar tempat tinggal Salmiah mengalami musibah kebakaran. Konon pihak PID (mata-mata Belanda) mencurigai Taman Siswa melakukan kegiatan terlarang pada masa itu. Salah satunya menerima kedatangan Ali Chanafiah, yang saat itu menjadi redaktur Indonesia Berdjoeang, surat kabar yang sering mengalami delik pers dari pemerintah kolonial.

Ditengah hiruknya aktivitas dan selingan Ali Chanafiah dipenjarakan oleh pemerintah kolonialis Belanda, mereka berdua memutuskan untuk menikah. Pernikahan ini pada zaman itu lazim di sebut "kawin lari" karena baru mendapat persetujuan dari orang tua pihak perempuan setelah pernikahan itu berlangsung di Bengkulu. Pernikahan ini berurutan dengan pendirian Taman Siswa cabang Bengkulu yang mereka gagas. Pendirian Taman siswa ini berlangsung pada tahun 1936, empat tahun setelah Taman Siswa berdiri pertama kali di Jogjakarta Di Taman Siswa Bengkulu ini, Salmiah langsung turun tangan mengelola dan mengajar. Sedang Ali Chanafiah karena mendapat larangan mengajar dari pihak Belanda, hanya membantu secara tidak langsung. Bahu membahu bersama para pamong, mereka membangun Taman Siswa Bengkulu. Lagi-lagi, aktivitas mereka tak hanya sekedar mengajar di dalam kelas, tapi juga aktif dalam kegiatan sosial dan pergerakan pemuda pada masa itu di Bengkulu. Mereka menggambarkan masa-masa awal pernikahan dan pendirian Taman siswa Bengkulu dengan kalimat,

"Eyang berusia 20 dan Ompung 19 tahun ketika kami datang ke Bengkulu. Dua pembangunan kami mulai. Pertama, rumah tangga. Kedua, perguruan Taman Siswa... baik rumah tangga kami maupun Taman Siswa tidak boleh gagal. Gagal yang satu berarti gagal yang lain dan gagal pulalah tujuan hidup kami... " (hal. 97).

Keberadaan Taman Siswa di Bengkulu awalnya berjalan lamban. Tak banyak orang tua murid yang berani menyekolahkan anaknya di Taman Siswa, ditambah Taman Siswa Bengkulu didirikan oleh seorang anak muda bekas tahanan pemerintah kolonialis Belanda. Barulah pada tahun kedua dan seterusnya, mulailah keberanian itu tumbuh pada diri orang-orang tua di Bengkulu. Malahan, murid-murid mulai berdatangan bukan dari Bengkulu saja, tapi juga dari kota-kota sekitar. Pada tahun ketiganya, Taman Siswa bengkulu telah bisa dikatakan berhasil mengambil hati masyarakat Bengkulu. Saat itu, Taman Siswa memiliki pengertian yang dipahami banyak orang sebagai harapan, sopan santun, kesederhanaan dan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia.

Beragam kegiatan dilakukan di Taman siswa. Tak sebatas pada jam pelajaran di kelas saja. Pada sore hari, murid-murid dari kelas yang tinggi berkumpul. Kegiatan mereka adalah membaca majalah yang mereka buat sendiri. Lengkapnya, pasangan suami istri ini menuliskan:

"...Caranya adalah seperti berikut. Mereka (para murid-pen) menuliskan buah pikiran mereka di lembaran-lembaran lepas. Macam-macamlah yang ditulis. Kemudian karangan-karangan mereka itu dihimpun di dalam satu map... Pernah terjadi polemik tentang cinta di antara mereka dan Ompung. Asyik sekali! Mereka kira mereka berpolemik antara mereka saja. Mungkin samapai sekarang mereka tidak tahu bahwa itu Ompung. Bergiliran mereka membaca majalah itu mereka itu." (hal. 100).

Selain itu, ada kegiatan berjalan di luar ruang kelas, ekskursi, berkemah, bersamapan di danau. Di samping semua kegiatan itu, mereka juga mendirikan Kepanduan Bangsa Indonesia. Beragam kegiatan ini, bagi Ali dan Salmiah Chanafiah selain bermanfaat bagi anak-anak juga bermanfaat untuk mereka berdua. Dalam hal ini mendekatkan hubungan mereka berdua dengan anak-anak didik mereka. Tradisi pertunjukan sandiwara pada pergantian tahun ajaran yang telah mengakar di pergurua taman Siswa lain juga dilakukan di Taman Siswa Bengkulu. Beragam lakon mulai dari yang sederhana hingga yang bermuatan semangat kebangsaan mereka tampilkan setiap tahunnya. Pertunjukkan ini tidak saja untuk para murid tapi juga dihadiri oleh masyarakat umum ketika itu. Tak ketinggalan, kegiatan bermusik pun mereka lakukan melalui klub musik yang dipimpin oleh salah seorang pamong Taman Siswa.

Guru-guru di Taman Siswa Bengkulu sendiri saat itu, selain berasal dari kiriman dari Taman Siswa Jogja, juga ad ayang berasal dari INS Kayu Tanam, dan juga murid-murid yang dididik untuk menjadi kader pamong. Dengan segala keterbatasan, proses belajar mengajar berlangsung, baik di ruangan kelas maupun di luar jam pelajaran. Pada perkembangannya, Taman Siswa Bengkulu semakin meluas, dengan dibukanya cabang-cang di kota-kota lain di wilayah keresidenan Bengkulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun