Mohon tunggu...
Bustamin Wahid
Bustamin Wahid Mohon Tunggu... Administrasi - Nika

Bustamin Wahid ad/ Alumni Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kekuasaan dan Kepentingan Tubuh

27 September 2022   06:07 Diperbarui: 27 September 2022   06:42 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bustamin Wahid

Peneliti Sosiologi Melanesia di Pusat Studi Melanesia (PSM)

Tubuh buka sekedar tempat untuk berinvestasi kegantengan/kecantikan, bahkan tubuh sering kali menjadi ekspresi atas hasrat penggoda umat manusia. 

Begitu sering tubuh juga menjadi pusat dari praktek rasisme dan bahkan menjadi investasi atas kepentingan kelompok kekuasaan. Tubuh begitu melekat atas fenomena perebutan kekuasaan, semua orang berdalih atas kuasa tubuh, tapi mayoritas menyebutkan sebagai politik nepotisme/politik DNA.

Pesan dari Empu Seno saat menerbitkan satu karya seminal berjudul "Tubuh yang Rasisi" di 2002, cukup serius dan menambah rujukan kritis pada publik Indonesia. Wartawan senior majalah "Tempo" itu menampilkan satu pendekatan Foucault yang begitu khas yang mengulas atas tubuh di definisikan, dikategorikan, digolongkan, dikonstitusikan, ditematisasikan dan dimanipulasi oleh kekuasaan. 

Manipulasi tubuh ini bahkan kita jumpai dalam semua sektor publik, bahkan gedung-gedung pembuktian dan pengujian kebenaran seperti Universitas juga cukup masif memproduksi kekerasan dan manipulasi tubuh. 

Tak mengherankan jika bahasa dan praktik akademik kita masih bermain-main dan bersembunyi dalam kepentingan golongan dan kelompok, bahkan kita sama-sama mendiamkan atas kejahatan akademik, yang terus horor dalam semangat kebangkitan mutu perguruan tinggi. Di ruang kerja bukan hanya urusan mengharumkan nama baik semata, tapi lebih dari itu di ruang-ruang akademik berdiri kokoh reproduksi/produksi rasisme.

Realitas seakan terkelupas kulitnya, semua orang menyembunyikan wajah untuk mengamankan posisi masing-masing. Seakan reposisi dalam lingkaran kekuasaan itu penting untuk terus menjaga harmonisasi, tapi tindakan nepotisme dan rasis terus direproduksi berulang-ulang. Teman dekat, kawan dekat, dan orang dekat bisa di andalkan dalam urusan distribusi kewenangan dan peran, banyak orang mengelak tapi kajian sosiologis telah lugas mengurai peristiwa itu.

Pemikir Islam sekelas Ibn Khaldun begitu fasih menyebutkan berulang-ulang dalam kategori memanfatkan kekuasaan, orang-orang dekat akan pasti menjadi perhatian dan akan menjadi embrio kehancuran.  Kita terus dibangun dengan semangat perjuangannya dengan pemahaman idiologi baik, tapi kita tak dikisahkan bahwa dimensi ketuhanan, manusia dan alam menjadi hal penting untuk kita pijaki. 

Jika tiga dimensi ini kita batinkan maka tidak ada orang menagih atas keadilan untuk dirinya, tidak akan menagih atas bahasa yang telah kita ucapkan, dan tidak adalah lagi alibi-alibi baru untuk menghadiri sebuah bahasa kuasa. Sebagian orang tak di berikan untuk merenungkan janji kebenaran, malah kita harus meram mata atas kesalah dan ditimpahkan opini irih dan dengki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun