Mohon tunggu...
Buruh HarianLepas
Buruh HarianLepas Mohon Tunggu... Buruh - Hidup Bersahaja Sebagai Buruh HarianLepas

Menjadi Seorang Buruh Harian Lepas di ibukota jawatengah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kunjungan di TPU Bergota Semarang

16 Oktober 2022   12:48 Diperbarui: 16 Oktober 2022   12:59 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tasripin adalah legenda Semarang. Ia saudagar yang pernah tinggal di Kampung Kulitan. Dalam Sang Pemula (2003: 73), Tirto Adhi Surjo pernah menyebut Tasripin sebagai pengusaha kulit yang sukses.

Menurut laporan koran De Locomotief (10/05/1902), Tasripin mengantongi izin untuk menyembelih ternak di tempat penjagalannya di Kampung Beduk. Salah satu pemanfaatan kulit hewan ternak ini adalah dalam pengembangan wayang kulit. S. Haryanto dalam Pratiwimba Adhiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang (1988:66) mencatat bahwa Tasripin membuat wayang gaya Yogyakarta dicampur dengan gaya pesisiran.

Selain bisnis yang terkait dengan kulit, Tasripin juga mempunyai pabrik es. Menurut koran Bataviasch Nieuwsblad (30/08/1910), Amat Tasan bin Tasripin membuka pabrik es batu di Karreweg (kini Jalan Cipto Mangunkusumo), Semarang. Pabrik tersebut menghasilkan 800 pon es sehari. Tiap pon dijual 2 sen.

Kulitan
Kulitan


Tanah Tasripin tak hanya di Kampung Kulitan. Menurut Hersri Setiawan dalam Memoar Pulau Buru (2004:168), tanah Tasripan juga terdapat di daerah Semarang timur. Sementara berdasarkan cerita yang dihimpun Ratih Dian Saraswati dan Riandy Tarigan dalam penelitiannya (PDF), pada abad XIX Tasripin membeli sejumlah tanah dari orang-orang Belanda untuk mengembangkan bisnisnya. Maka tak heran jika ia mempunyai rumah di daerah Jeruk Kingkit, Kampung Kulitan, Pederesan, Wot Prau, Gendingan, dan lainnya. Sebagian tanahnya juga digunakan untuk tempat tinggal para pekerjanya yang berasal dari pinggiran Semarang.

Rumah trasipin
Rumah trasipin



Menurut laporan koran Algemeen Handelsblad (26/10/1919), kekayaan Tasripin mencapai 45 juta Gulden. Pemasukan rata-rata perbulannya diperkirakan antara 35 hingga 40 ribu gulden.

Sebagai orang Jawa yang hidup di pesisir, sejak awal Tasripin sudah terbiasa dengan kultur berdagang, bukan sebagai amtenar. Pada awal abad XX, golongan pedagang Jawa mulai muncul. Namun, jumlah mereka belum terlalu banyak.

Koran Bataviaasch Nieuwsblad (11/08/1919) melaporkan bahwa Tasripin wafat pada pukul 10 pagi tanggal 9 Agustus 1919, pada usia 85 tahun. Artinya ia lahir pada 1834, empat tahun setelah Perang Jawa berakhir. Masa hidupnya sezaman dengan raja gula Semarang, Oei Tiang Hiem.

Semasa hidupnya, Tasripin memiliki beberapa istri. Salah satu putranya yang bernama Amat Tasan, adalah yang paling terkenal dan dianggap sebagai pengganti Tasripin. Ia mengalami masa-masa munculnya Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI). Meski semula keluarga Tasripin penganut Kejawen, tetapi kemudian dekat ke Islam. Sebuah gedung bersejarah milik Sarekat Islam di Semarang, bahkan sempat dikaitkan dengan keluarga besar Tasripin.

Menurut pemberitaan koran Soerabaijasch Handelsblad (27/08/1937), Amat Tasan tutup usia pada tahun 1937 di usia 72 tahun. Setelah kematian Amat Tasan, bisnis keturunan Tasripin masih berjalan, meski popularitasnya tak seperti saat dikelola oleh Tasripin. Sekitar 1950-an, sebuah badan usaha bernama Tasriepien Concern masih eksis di Semarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun