Mohon tunggu...
Burhanuddin
Burhanuddin Mohon Tunggu... guru

Senang menuangkan ide

Selanjutnya

Tutup

Nature

Namlea dan Dunia: Eksistensi Minyak Tanah dan Transisi Energi

26 April 2025   08:07 Diperbarui: 26 April 2025   08:26 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu masih terik seperti kemarin-kemarin di Namlea. Cahaya matahari yang silau menyinari ranting-ranting pohon kayuputih yang melekat pada pohon di lereng-lereng bukit yang mirip sabana. Hamparan rumput di perbukitan yang memadukan warna kuning, coklat, dan hijau, semakin menambah kesan jika Pulau Buru memiliki iklim yang mungkin 'agak lain' dari Indonesia tengah dan barat. 

Tiba-tiba notifikasi ponsel saya memunculkan unggahan di Grup Info Kejadian Namlea. "Beta izin tanya, Kaka. Ada  Kaka dong tau bajual minyak tanah kah? 3 hari minyak tanah su habis. Mohon Info eee". Saya menghirup napas pelan. Kejadian ini memang sering kali terjadi selama satu bulan terakhir ini. Kelangkaan minyak tanah sudah memasuki hari ke-32, dan warga-warga pada resah. Bagaimana tidak, para Emak sudah kesulitan membuat dapur ngebul untuk sekadar menyajikan hidangan kepada anggota keluarganya. Plus Bapak-bapak yang lehernya kekeringan tidak bisa menyeduh kopi seperti yang mereka lakukan saban pagi di bulan-bulan sebelumnya. Alternatif lain yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan pemanas listrik. Ini bukan tanpa konsekuensi, penggunaan perangkat listrik secara jangka panjang, berdampak pada tagihan yang ditandai oleh bunyi bip bip pada KWH meter yang mengusik ketenangan hidup saat pertengahan bulan di mana dompet sedang tipis-tipisnya. Belum lagi pengusaha makanan yang menggantungkan hidup pada kompor sepaket minyak tanah untuk menjalankan operasional warungnya, pasti sudah pusing tujuh keliling. Bagaiamana tidak, agen-agen minyak tanah yang selama ini menjadi langganannya juga sedang krisis persediaan. 

Hal yang menggelitik pikiran dengan kejadian itu adalah tentang dampak ekonomi, sosial,  dan kebutuhan-ketersediaan akan energi secara global. Namlea hanyalah lingkup kecil dari isu-isu energi yang terlihat dalam pandangan. Itu hanya representatif dari problema-problema yang terjadi di berbagai belahan bumi di luar sana. Garis-garis masalah yang terjadi jika ditarik dalam satu titik maka akan terfokus pada 'kebutuhan akan energi' yang mana kita ketahui jikalau energi yang dipakai oleh manusia di planet ini masih bergantung pada penggunaan energi fosil (termasuk Namlea yang bergantung pada BBM minyak tanah yang juga bagian dari bahan bakar fosil). 

Dewasa ini dunia sedang dalam booming-boomingnya untuk  menjaga kelestarian bumi. Termasuk implementasi energi ramah lingkungan dan transisi menuju energi hijau di mana penggunaan energi fosil dianggap sebagai bukan masa depan lagi dan akan segera dialihkan cepat atau lambat menuju energi alternatif terbarukan yang bersih dari emisi karbon. 

Pada dasarnya, transisi energi adalah perpindahan dari ketergantungan pada energi berbasis karbon—seperti batu bara, minyak, dan gas alam—menuju energi baru terbarukan (EBT), seperti tenaga surya, angin, hidro, panas bumi, dan biomassa. Langkah ini penting untuk menekan emisi gas rumah kaca, yang menjadi penyebab utama krisis iklim.

Namun, transisi energi tidak hanya menyangkut aspek lingkungan. Dampaknya juga meliputi perubahan ekonomi dan sosial yang besar. Pertumbuhan sektor EBT membuka peluang investasi, menciptakan lapangan kerja ramah lingkungan, serta mendorong terobosan teknologi. Selain itu, kemandirian energi yang dihasilkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi suatu negara.

Meski demikian, proses transisi energi tidak berjalan tanpa hambatan. Keterbatasan infrastruktur, tingginya biaya investasi awal, serta tantangan dalam mengintegrasikan sumber energi intermiten ke dalam jaringan listrik memerlukan solusi kreatif dan kebijakan yang tepat. Pengembangan teknologi penyimpanan energi (energy storage) dan jaringan listrik cerdas (smart grid) menjadi faktor penting dalam mengatasi kendala ini.

Bagi Indonesia, yang memiliki potensi EBT melimpah, transisi energi bukan hanya pilihan, melainkan keharusan. Optimalisasi pemanfaatan energi surya, angin, panas bumi, dan sumber daya terbarukan lainnya akan memperkuat ketahanan energi nasional, menjaga kelestarian alam, serta mendorong pertumbuhan ekonomi hijau. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci untuk mewujudkan masa depan energi yang lebih bersih dan adil. Transisi energi bukan lagi  sekadar diskusi, melainkan aksi nyata menuju pembangunan berkelanjutan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun