Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bagus Harun dan Masjid Sewulan Peninggalannya yang Unik

10 Oktober 2014   01:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:41 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_328077" align="alignnone" width="600" caption="Masjid Sewulan tampak depan"][/caption]

Masjid Sewulan adalah salah satu peninggalan Bagus Harun, masjid itu masih berdiri kokoh di Desa Sewulan Kec Dagangan Kabupaten Madiun, selain itu masih ada Madrasah (Pondok) dan tanah (bumi perdikan). Orang banyak berdatangan untuk berziarah serta untuk bermunajat di makam serta masjid peninggalannya terutama malam Jumat dan malam ganjil di bulan Ramadhan. Masjid ini sudah dilindungi oleh dinas kepurbakalaan dan dimasukan dalam situs yang wajib dilestarikan.

[caption id="attachment_328186" align="aligncenter" width="600" caption="Prasasti dari dina kepubakalaan"]

14128477161445136229
14128477161445136229
[/caption]

Orang jarang mengenal nama kecilnya, masyarakat lebih mengenal namanya dengan Kyai Basyariah pendiri Masjid dan Pondok. Bagus Harun kecil adalah putera Adipati Ponorogo Bogel Kesambi (makamnya berada di Desa Nailan Slahung). Yang lucunya Bagus Harun kakak beradik dengan Kyai Nur Salim (Mbah Mantub) yang tidak lain adalah mertua Kyai Ageng Besari, dan Kyai Ageng Besari ini adalag guru dari Bagus Harun.

Bagus Harun kecil menimba ilmu di pondok pesantren Tegalsari yang diasuh Kyai Ageng Besari, yang pada saat itu tak hanya rakyat biasa yang menimba ilmu di Tegalsari, banyak kaum bangsawan yang menimba ilmu di pondok tersebut.

Pada masa itu terjadi kekacaun di keraton Surakarta  akibat pemberontakan pasukan cina (Pangeran Kuning) dan sinuwun Pakubuono II berlindung ke arah Ponorogo menuju pondok pesantren Tegalsari. Dan Kyai Ageng Besari mengutus Bagus Harun ke keraton Surakarta untuk masuk ke keraton bagus Harun mendapat pertolongan dari Alloh dengan berubah menjadi kinjen (capung), dan alhasil Bagus Harun bisa menyelesaikan tugas yang diemban dari gurunya. Dan setelah keraton aman Sinuwun Pakubuono II kembali ke keraton.

[caption id="attachment_328079" align="aligncenter" width="600" caption="Setiap masuk masjid selalu masuk kolam dulu sekaligus bersuci, dulu jaman penulis kecil kolam ini banyak dihinggapi kinjen (capung), mungkin ini simbol cerita Bagus Harun ketika berubah menjadi kinjen"]

14128224271791192220
14128224271791192220
[/caption]

Sekembalinya di keraton sinuwun menganugerahkan pangkat kepada Bagus Harun, karena sinuwun mengetahui silsilah Bagus Harun masih keturunan dari Sutowijoyo, namun Bagus Harus menolak dengan halus karena dia ke keraton adalah mengemban tugas dari gurunya Kyai Ageng Besari.

Akhirnya sinuwun menganugerahkan pusaka keraton Payung Tunggul Nogo kepada Bagus Harun, dan Bagus harunpun kembali ke pondok Tegalsari untuk menghadap gurunya, dan Payung Tunggul Nogo-pun diaturkkan kepada gurunya, namun Kyai Ageng Besari menolak karena merasa tidak berhak dan Bagus Harun-lah yang berhak karena dia yang memadamkan pemberontakan, begitu juga Bagus Harun tidak mau menerima dia merasa yang berhak menerima hadiah adalah gurunya karena dia ke Surakarta atas perintah gurunya. Akhirnya Kyai Ageng Besari menyuruh Bagus Harun mengembalikan Payung Tunggul Nogo itu ke sinuwun di Keraton Surakarta. Begitu memasuki gerbang keraton terjadi salah paham antar prajurit penjaga dengan Bagus Harun, dan Bagus Harun dihujani ratusan bahkan ribuan panah, dan bagus harus berlindung dengan Payung Tunggul Nogo, dan semua anak panah tidak ada yang bisa melukainya. Bagus Harun terheran-heran, dan Sinuwun mempersilahkan masuk ke dalam istana, sesampai istana sinuwun tidak mau menerima Payung Tunggul Nogo yang pernah diberikannya, Bagus Harun-pun bingung dan kembali ke Ponorogo ke pondok pesantren Tegalsari.

Sepanjang perjalanan dia merenung, seandainya saja dia terus memegang pusaka Payung Tunggul Nogo dia pasti berubah menjadi sombong dan tamak serta akan mengganggu dalam menimba ilmu di pondok, dan jika kelak dimiliki anak cucu atau keturunannya juga akan membuat anak cucunya jadi sombong dan tamak. lalu dibuanglah Payung Tunggul Nogo itu di jembatan Sekayu (sungai besar sebelum masuk kota Ponorogo), dan konon pusaka tersebut berhenti di Kedung Pluang (Bang Pluang) 2-3 km dari jembatan sungai.

Sekembalinya ke pondok Tegalsari Bagus Harun di suruh mengembangkan (syiar) agama Islam, disuruh berjalan menuju utara ke arah Madiun dan sebelum 30 hari (sebulan; sewulan ; bahasa Jawa) tidak boleh berhenti. Dan tepat 30 hari mendapatkan tempat di daerah Dagangan wilayah Madiun bagian selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun