"Azan nak.." jawab lelaki tua tersebut sambil terus berlalu dan akhirnya menghilang berpadu dengan ratusan penonton yang sudah mulai berhamburan pergi meninggalkan gelanggang.
Masih penasaran dengan jawabannya, azan. Apakah dia membisikkan azan di telinga penari yang kerasukan tadi sehingga si penari tersadar? Apakah syetan atau sejenisnya takut dengan suara azan?
Atau mungkin dia menyuruhku untuk bergegas menunaikan sholat Magrib karena sudah terdengar azan, entahlah. Satu hal saya pun harus segera bersuci dan segera menunaikan sholat Magrib di mushola yang tak jauh dari tempat hajatan.
Beruntung ketika pertunjukan berlangsung saya masih berkesempatan bertanya pada penari lain yang sudah sadarkan diri dari kerasukan. Saya penasaran mulutnya tiada luka padahal saat kerasukan dia mengunyah botol minyak wangi yang terbuat dari kaca, dia juga menguyah bara api yang dipakai membakar kemenyan. Apakah ndak takut luka?
"Sebenarnya takut, tapi tak mampu mengendalikan diri, setengah sadar saat makan pecahan kaca tapi untuk berhenti tak mampu terlebih saat ada irungan gamelan." Jawabnya.
"Liat orang kayak kecil-kecil, rasa malu seakan hilang tapi jadi masih sadar..." imbuhnya lagi.
Ada hal lucu, roh yang masuk ada yang mirip-mirip celeng (babi hutan) sehingga penari akan mirip hewan tersebut dalam tariannya maupun permintaannya. Misal makan talas, ibu, kelapa yang dikupas dengan giginya.
Ada yang kerasukan roh ular, tingkah lakunya mirip ular naga yang berjalan menggunakan dadanya.
Yang paling menggelikan bila kerasukan roh banci tingkah lakunya seperti banci pula.
Kesenian ini merupakan group Jaranan Turonggo Wulung Kupuk, Bungkal Ponorogo. Apapun situasi dan kondisinya sepatutnya mendapatkan apresiasi, budaya leluhur yang sudah turun temurun masih saja terjaga. Mas Agustinus sang kepala desa bersyukur, bisa mengumpulkan dan menggerakkan pemuda di desanya untuk memajukan kesenian di saat budaya asing terus menggerus.