Mohon tunggu...
Bung Lomi
Bung Lomi Mohon Tunggu... Freelancer - Debutant Writer

Read Well, Write Well

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papua dalam Cinta

23 Agustus 2019   15:54 Diperbarui: 23 Agustus 2019   15:54 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


"Begitu banyaknya pulau yang indah
Inilah Papuaku uuu
Permata hijau laut dan seninya
Begitu menyenangkan jiwa 
"

Itu adalah penggalan lirik dari salah satu lagu favoritku yang sempat menjadi backsound opening salah satu acara favoritku di Metro TV, Alenia's Journey - Uncover Papua.

Ngomong - ngomong soal Papua, belakangan ini kita tahu bahwa isu Papua sedang banyak dibahas dan disoroti di negeri kita, bukan karena keindahan alamnya yang memanjakan mata, bukan karena kekayaan alamnya, namun yang terjadi adalah penyerangan Rasisme kepada Mahasiswa Papua.

Hari ini masih berseliweran berita dan kabar - kabar terkini terkait isu Mahasiswa Papua yang hampir seminggu ini menghiasi laman twitterku, mulai dari pagi hingga malam hari sebelum kulepas handphone ini untuk diisi dayanya.

Banyak yang memberi dukungan dan ucapan - ucapan yang menguatkan, yang merangkul bagi warga Papua. Juga muncul berbagai tagar - tagar dukungan seperti #PapuaBukanMonyet #PapuaJugaIndonesia #MasyarakatPapuaSaudaraKu, sampai muncul juga berbagai video kompilasi dari anak - anak muda Papua yang mengucapkan "Sa Papua, Sa Bukan Monyet!" yang mana ketika kulihat video tersebut sampai membuatku merinding, padahal kutonton video tersebut saat siang bolong.

Ketika kucoba untuk mencari tahu bagaimana kronologi tentang kejadian yang menyerang Mahasiswa Papua tersebut, usut punya usut bermula saat terjadinya dugaan oleh anggota Ormas yang menyangka bahwa ada pembuangan bendera merah putih ke selokan oleh Mahasiswa Papua yang diketahui olehnya saat tersebar gambarnya melalui pesan di WhatsApp.

Dan berdasarkan keterangan dari seorang mahasiswa yang berada di asrama, pada saat kejadian tanggal 16 Agustus 2019 "oknum" anggota TNI sempat menggedor pintu gerbang asrama. Bukan saja menggedor, "oknum" tersebut juga mengucapkan kata - kata yang tak pantas (rasisme) yang ditujukan pada Mahasiswa Papua yang berada di dalam asrama. Beberapa saat kemudian datang juga puluhan anggota ormas lalu melempari asrama dengan batu.

Singkat cerita, sekitar pukul 02.00 WIB dini hari (17 Agustus 2019) terdapat dua orang mahasiswa yang mengantarkan makanan ke asrama tersebut ditangkap oleh aparat kepolisian dan dibawa ke Mapolrestabes Surabaya. Tanggal 17 Agustus 2019 sekitar pukul 14.40 WIB, aparat kepolisian menangkap semua orang yang ada di dalam asrama tersebut.

Pada saat penangkapan, terdapat beberapa tindakan kekerasan dari "oknum" kepolisisan yang mengakibatkan 3 orang mengalami luka - luka. Setelah pemeriksaan selesai pukul 23.30 WIB semua mahasiswa yang diangkap tersebut dikembalikan ke Asrama.

Warga Papua bereaksi karena disebabkan oleh kata - kata rasis yang sempat dilontarkan kepada Mahasiswa Papua di Surabaya oleh "oknum" aparat. Terlebih lagi saat beredar video berdurasi 44 detik tersebar luas di media sosial, yang menunjukan beberapa anggota aparat yang mengepung pintu gerbang Asrama Mahasiswa Papua sambil melontarkan kata - kata hinaan kepada mahasiswa yang berada dibalik gerbang asrama tersebut. Yang sangat memicu reaksi dari warganet ketika melihat video tersebut (termasuk saya).

Kejadian ini mengingatkanku kembali saat dulu aku mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar, ketika itu aku merupakan satu - satunya di kelas yang berkulit gelap, berambut agak keriting dan aku juga adalah minoritas di situ. Sering kali aku diejek oleh teman - temanku, tak jarang juga aku dikucilkan, dan aku mendapat julukan sendiri oleh mereka "Si Hitam".

Tidak jarang juga aku yang ketika itu masih bocah mudah sekali untuk menitikan air mata di kala jam - jam istirahat sekolah sedang berlangsung, bahkan saat aku bermain dengan teman sebaya di lingkungan rumah pun, sering terjadi penolakan oleh mereka kepadaku untuk sekadar bermain atau bergabung dengan mereka.

Itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu, dan luka itu masih tersisa di dalam hati ini. Dengan munculnya kejadian sekarang ini aku mengerti dan merasakan apa yang dirasakan oleh Mahasiswa Papua tersebut. Bukan hanya karena aku bersimpati, tapi karena aku sendiri mengalami apa yang dialami oleh mereka. Wajar kurasa bila warga Papua bereaksi atas kejadian tersebut (terlepas dari keinginan Papua Barat ingin merdeka sendiri).

Menurutku, di umur Indonesia yang sudah 74 tahun merdeka ini, baru negaranya saja yang merdeka, BELUM bagi mereka para "oknum" yang masih anti dengan perbedaan, bagi mereka yang begitu fanatik dengan agama, dan BELUM bagi mereka yang masih memandang bahwa Hitam Kulit dan Keriting Rambut itu adalah monyet.

Bukankah "Hitam" yang kausebut itu adalah bagian dari warna -- warni yang ada di dunia ini? Bukankah "Keriting" juga adalah bagian dari sekian banyaknya model rambut -- rambut indah yang menghiasi kepala manusia?

Jika kau tak bisa menghargai mereka sebagai "warga negara", hargailah mereka sebagai "manusia". Meskipun "monyet" yang kau ucapkan adalah mahluk hidup juga, tapi derajat "Manusia" lebih tinggi dari monyet.


G. R. Lomi, 23 -- Agustus -- 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun