Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kerusuhan di Kanjuruhan, Bukti Rendahnya Literasi Sepak Bola Indonesia

2 Oktober 2022   12:29 Diperbarui: 3 Oktober 2022   04:29 1858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di area Stadion Kanjuruhan,Kepanjen, Kabupaten Malang, seusai kericuhan penonton yang terjadi seusai laga pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 bertajuk derbi Jawa Timur, Arema FC vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/9/2022) malam. Foto: Kompas.com/Suci Rahayu

Ketiga, penggunaan gas air mata.

Inilah yang di atas tadi saya singgung sebagai "kesalahan prosedur". Tindakan yang boleh jadi merupakan penyebab skala kerusuhan di Kanjuruhan semakin meluas. Dari semula di atas lapangan, melebar hingga ke tribun penonton.

FIFA telah melarang penggunaan gas air mata dalam penanganan kerusuhan suporter. Sebuah larangan yang dibuat bukan tanpa dasar tanpa alasan. Ada preseden di masa lalu yang membuat para pengambil kebijakan di Zurich sana mengeluarkan aturan begini.

Aturan mengenai larangan tersebut tertuang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations, tepatnya dalam Article 19 b) yang berbunyi--saya terjemahkan secara bebas, "Tidak ada senjata api maupun 'gas pengendali kerumunan' yang boleh dibawa ataupun digunakan."

Lihat, membawanya saja tidak diperbolehkan oleh FIFA, apatah lagi sampai menggunakannya!

Pihak kepolisian boleh saja membela diri. Saya pribadi bisa memaklumi karena keadaan di lapangan mungkin memang menuntut mereka berbuat demikian. Namun tetap saja tidak bisa dielakkan jika tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap aturan FIFA.

Sama halnya flare, gas air mata dapat membuat pernapasan terganggu dan juga memerihkan mata. Malah efeknya lebih gawat lagi. Tidak mengherankan jika para suporter di tribun panik begitu ada gas air mata sehingga menimbulkan kekacauan lain.

Membaca berita-berita soal kejadian ini, saya langsung teringat Tragedi Hillsborough. Sebagian besar korban pada peristiwa 15 April 1989 itu meninggal dunia akibat saling mengimpit dan berdesak-desakan di tribun, sehingga kekurangan oksigen.

Kejadian serupa terjadi di Kanjuruhan tadi malam, sebagaimana digambarkan sendiri oleh Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta dalam konferensi pers di Mapolres Malang, Minggu (2/10/2022) pagi WIB.

"Mereka pergi keluar ke satu titik di pintu keluar, kalau enggak salah itu 10 atau pintu 12. Kemudian terjadi penumpukan di dalam proses penumpukan itulah terjadi sesak nafas, kekurangan oksigen, yang oleh tim medis dan tim pergabungan ini dilakukan upaya penolongan yang ada di dalam stadion." Demikian papar Nico Afinta, sebagaimana saya kutip dari Okenews.com.

Konfirmasi akan hal itu disampaikan oleh Menko Polhukkam Mahfud MD dalam pernyataannya, sebagaimana saya kutip dari krjogja.com. "... para korban pada umumnya meninggal karena desak-desakan, saling himpit, dan terinjak-injak, serta sesak napas."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun