Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuliner Ular dan Harimau

27 Februari 2013   17:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:35 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh drh Chaidir

TRADISI kuliner sesungguhnya hanya dikenal dalam peradaban manusia. Kuliner berkaitan dengan gaya hidup masyarakat, mulai dari yang sederhana sampai sajian yang berkelas tinggi dan super mewah. Semakin maju masyarakatnya semakin bervariasi menu yang dihidangkan, baik yang menyangkut jenis makanannya, peralatan, teknik penyajian, maupun suasananya (natural maupun artificial).

Dewasa ini, hampir di seluruh dunia, wisata kuliner menjadi salah satu opsi yang ditawarkan untuk menjaring turis domestik maupun turis asing. Makan malam dengan bercahaya lampu lilin (candle light dinner) di bawah sinar rembulan di Pantai Jimbaran, Bali, yang berpasir putih, misalnya, memiliki nuansa yang berbeda dengan suasana menyantap asam pedas ikan patin yang ditutup dengan desert "ubi goreng janda" di restoran Khas Melayu, di Simpang Tiga Pekanbaru. Suasana egaliter yang akrab akan sangat terasa bila sedang menikmati gudeg di Molioboro, atau di emperan Bioskop Permata, di Yogya. Iringan musik Latin, musik klasik seperti di hotel-hotel berbintang lima, musik tradisional gamelan Jawa atau Sunda, musik Batak, Melayu, Minang, pasti akan menambah seronok suasana wisata kuliner.

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Lain Bali, Yogya, Bandung, Pekanbaru, Medan, atau Melaka, lain pula Thailand. Negeri Gajah Putih itu punya cara khas dalam memanjakan turis yang menikmati wisata kuliner. Bangkok memiliki selera "nakal" untuk memberi kenangan istimewa dalam wisata kuliner, khusus untuk bapak-bapak yang datang "menjomblo" ke negeri itu. Ada sebuah restoran yang disebut "No Hand Restaurant" (Restoran Tanpa Tangan). Adakah para pelayan restoran ini tak berlengan? Salah. Di restoran ini , pengunjung yang menikmati wisata kuliner dilarang menggunakan tangan sendiri. Artinya, pengunjung datang, pesan makanan, selanjutnya akan disuapi oleh pramusaji gadis-gadis Thailand yang cantik jelita. Aduhai..

Masih di Thailand, di restoran lain, pengunjung dilayani oleh pelayan-pelayan yang sangat terampil menggunakan sepatu roda. Pramusaji ini meluncur cepat dari meja ke meja untuk menghidangkan makanan. Kabel-kabel yang membentang di atas kepala, jangan salah, ternyata digunakan oleh pelayan tersebut untuk bergelayut meluncur sambil memegang nampan berisi hidangan di tangannya, persis seperti ketika kita meluncur dalam nomor permainan flying fog di area outbound di Buki Naang, Kabupaten Kampar, Riau, atau di Bedugul, Bali. Citarasa hidangan adalah satu bagian, menikmati keterampilan para pramusaji itu adalah kepuasan lain.

Kuliner dalam peradaban manusia, beda dengan kuliner dalam dunia hewan. Ular dan harimau misalnya, selalu mengembara untuk menikmati mangsanya. Ular, diam-diam melata membelit mangsanya, sementara harimau, mereka harus berburu, berlari lebih kencang dari kijang atau mereka akan gigit jari. Kedua hewan tersebut sama berbahayanya, keduanya mematikan mangsanya, tetapi keduanya tidak termasuk jenis hewan yang terkenal rakus di dunia seperti Hiu Macan, babi, atau burung pemakan bangkai. Hiu Macan misalnya, sangat menikmati hidup, apapun benda yang berada di depannya seperti sepatu, potongan kayu, besi, semua diembat, apalagi orang.

Namun demikian, ada sesuatu yang menarik dari kuliner ular dan harimau. Kedua satwa ini berbeda dalam perilaku makan. Ular tidak punya citarasa, mereka menelan saja semua makanannya mentah-mentah dan bulat-bulat, tanpa dikunyah. Ular tidak menyisakan sehelai rambut pun dari mangsanya. Entah bagaimana cara bangsa ular ini menikmati makanannya. Yang pasti sertelah menelan mangsa yang besar, ular biasanya mencari tempat yang aman dan tidur. Jangan berharap sisas makanan dari ular. Harimau memang ganas. Tapi seganas-ganasnya harimau, mereka tak menelan bulat-bulat mangsanya. Tidak seperti ular, harimau masih menyisakan serpihan-serpihan makanannya untuk tikus, biawak, semut, cacing, dan makhluk-makluk kecil lainnya. Ada saja cermin dari dunia satwa. Pilih kuliner cara ular atau harimau? Kalau boleh memilih, aku pilih wisata kuliner ke No Hand Restaurant saja...ha..ha..ha....

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun