Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Menjadi Candu dan Racun Peradaban

7 Desember 2020   11:33 Diperbarui: 7 Desember 2020   13:13 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Amas (Foto Dokpri)

Demokrasi akan menjadi berantakan, bau busuk, jika tidak terkelola dengan baik. Selain itu, bila elemen rakyat tidak mempraktekkan adab demokrasi, sudah pasti demokrasi menjadi rusak. Bahkan berubah seperti air kakus (black water) dan sampah domestik lainnya. Demokrasi kini seperti menjadi candu bagi masyarakat. Kadang menyeramkan.

Jika demokrasi wajahnya sudah seperti itu, maka menurunlah kepercayaan publik. Demokrasi turun level, seolah limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (B3) yang baunya membuat pinsan masyarakat, berarti terancamlah kedaulatan masyarakat. Sudah pasti demokrasi yang diidam-idamkan ini menjadi hilang kewibawaannya. Rasanya demokrasi terlampau maskulin, dan menghilangkan nilai-nilai feminim. Bersifat terlampau monopoli, berat sebelah dan mengakibatkan roda demokrasi tidak berjalan berimbang.

Padahal demokrasi kita menampilkan harmonisasi. Menyediakan porsi yang representatif antara peran feminisme dan maskulinitas. Dimana kesetaraan gender menjadi tema yang diperhatikan dalam demokrasi kita. Demokrasi Indonesia bukan menoton menampilkan dan menampung tentang peran laki-laki semata. Melainkan memberi tempat istimewa bagi perempuan yang diidentikkan dengan sifat feminim.

Dimana feminim lebih identik dengan kelembutan. Sedang sifat demokrasi yang maskulin cenderung menampilkan sisi perkasa yang dekat hubungannya dengan peran laki-laki. Peran di ruang publik, seolah dialamatkan pada laki-laki, lalu demokrasi dituduh seolah-olah tidak mengakomodir kepentingan kaum perempuan yang feminim. Ternyata tidak demikian adanya.

Sebab demokrasi merupakan perpaduan dari sifat feminim dan maskulin. Demokrasi kita memiliki dua wajah yang sempurna. Tidak bisa didikotomikan antara sisi feminimnya dan feminisnya. Keduanya harus dipakai, digunakan sesuai konteksnya masing-masing. Kesempurnaan demokrasi itu dibangun atas nilai-nilai kelembutan dan keperkasaan. Demokrasi kita merupakan refleksi dari miniatur sifat manusia.

Sering terjadi disorder disebabkan karena kepentingan masyarakat serta keadilan diabaikan. Peran gender masih saja diributkan. Demokrasi dipersempit hanya pro pada kebutuhan dan kepentingan laki-laki dalam peran publik. Ini merupakan kesesatan berfikir, tidak seperti itu seyogyanya. Dilain sisi, demokrasi juga bukan museum, apalagi TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

Untuk menyimpan barang-barang antik bersejarah. Masyarakat harus pergi ke museum, bukan memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan tersebut. Begitu juga dengan kepentingan masyarakat membuang sampah atau buang air besar, jangan demokrasi dijadikan tempatnya membuang semua bentuk kotoran. Bagaimanapun demokrasi selalu relevan, menjadi jembatan sejarah. Menjadi alat penyatu bagi kepemimpinan.

Ketika energi positif dari demokrasi digarap sesuai marwahnya, maka demokrasi kita akan melahirkan kepemimpinan yang ideal. Pemimpin yang benar-benar diharapkan, menjadi idola semua komponen masyarakat. Bukan saja pemimpin yang berdiri diatas kebutuhan satu dua golongan. Mesin demokrasi harus dihidupkan terus, agar dapat mendeteksi mereka oknum-oknum yang sering menyalahgunakan demokrasi untuk kepentingannya sendiri. Jangan lagi demokrasi seperti disabotase para pembajak (perompak).

Tindakan perusakan demokrasi secara berencana akan membahayakan mereka yang merusaknya. Begitu pula dengan masyarakat umumnya, juga akan terkena dampaknya. Langkah menyelamatkan dari cara-cara jahat tersebut adalah keseimbangan atau harmonisasi dalam derap langkah demokrasi harus terus dibangun. Jangan biarkan nalar demokrasi hanya dimonopoli sifat feminis, atau sebaliknya demokrasi didominasi sifat maskulin.

Akhir-akhir ini demokrasi kita sudah seperti candu. Dimana hidangannya pada masyarakat di saat Pilkada Serentak 2020 menampilkan sisi kapitalisnya. Masyarakat sebagai konstituen digerogoti, dibujuk dengan cara politik uang. Solidaritas masyarakat dihalau dengan adanya politik identitas. Sehingga jadinya, masyarakat terpolarisasi. Persatuan tidak lagi menjadi magnet, malah yang terjadi perpecahan hanya karena politik.

Kita berharap masyarakat dewasa dengan dinamika demokrasi. Jangan sampai politik di Pilkada Serentak merusak persatuan, persaudaraan yang telah lama kita bina dengan membangga-banggakan toleransi dan kerukunan. Demokrasi harus menjadi kunci persatuan. Menjadi pemicu bagi masyarakat yang terbius, terbuai dengan candu politik materialistik untuk kembali ke jalan yang benar. Demokrasi bukanlah racun peradaban.

Melainkan demokrasi sebagai satu-satunya instrument yang kita akui dapat memajukan peradaban kita di Indonesia. Demokrasi merupakan jalan damai. Jalan mengarahkan rakyat Indonesia dari jebakan, racun dan bius yang membuat masyarakat hilang masa depannya. Disinilah demokrasi menjadi krusial, begitu dibutuhkan. Karena politik sebagai bagian dari demokrasi, harus saling terkait dan saling menopang. Demokrasi perlu dikendalikan dengan cara-cara berpolitik yang benar.

Bukan politik dijadikan alat penjegal demokrasi. Tidak seperti itu. Selain itu, demokrasi juga bukan candu yang mematikan para penganutnya sendiri. Idealnya demokrasi terus menghidupkan nafas segar yang membicarakan persatuan, keadilan dan persamaan. Bukan menebar ancaman atau kecemasan. Bukan begitu rute demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi menawarkan ketenangan, kesejukan dan kenyamanan bagi masyarakat.

Jika demokrasi telah menjadi candu dan racun peradaban, berarti demokrasi telah dikendalikan kaum kapitalis. Masyarakat yang pendapatan ekonominya di bawah rata-rata dijadikan budak bagi geng kapitalis atau pemilik modal. Dengan kuas anggaran yang besar, masyarakat awam dapat dibayar kapitalis untuk mengarahkan pilihannya. Masyarakat sipil yang hidupnya biasa-biasa saja, diposisikan sebagai masyarakat kelas kedua dalam pertempuran politik.

Inilah yang kita khawatirkan. Jangan sampai hal itu terjadi. Sebab, itu berpotensi demokrasi dikendalikan sepihak oleh kaum berduit yang arogan dan jahat. Masyarakat harus menjadi pengendali, panglima bagi dirinya sendiri dalam menentukan hak pilihnya di Pilkada atau tiap suksesi demokrasi. Bukan dengan uang yang menjadi candu, membuat masyarakat tertindas dan dibohongi.

Jangan karena pemberian uang, hak-hak politik masyarakat dimanfaatkan kaum kapitalis. Masyarakat punya kemandirian memilih pemimpinnya. Jangan didikte atau diatur kaum berduit. Biarkan kedaulatan memilih, kemerdekaan berdemokrasi dipraktekkan masyarakat secara leluasa.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun