Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada, Isu Agama dan Jualan Citra

16 September 2020   16:45 Diperbarui: 16 September 2020   18:41 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik sederhannya bicara tentang kepentingan. Kau mendapat apa dan bagaimana mendapatkannya, yang perspektifnya lebih erat pada posisi perebutan kekuasaan. Tidak sederhana, dan terbatas politik itu, melainkan luas cakupannya. Tidak sekedar bicara soal kepentingan dakwah atau siar agama tertentu, melainkan melingkupi kepentingan lintas agama. Kompleksitas dan keberagaman kepentingan yang meliputinya.

Itulah sebabnya, politik juga disebut-sebut sebagai seni. Cabang ilmu yang di kampus atau Perguruan Tinggi mengajarkan terkait etika atau adab berpolitik, tidak memberi batas (distingsi) terhadap siapa saja yang mau belajar tentang politik. Begitu dinamis, dalam tiap fase selalu mengalami perkembangan yang naik turun. Politik itu tidak statis. Sehingga pembaruan kepentingan, kompromi dan relasi yang saling kait-mengkait begitu elastis.

Dalam satu momentum politik misalnya, ada partai politik tertentu yang mendukung figur dengan latar belakang berbeda. Ada kalanya mendukung dengan alasan ideologi, visi kesejahteraan, keakraban, kesamaan, komitmen, dan lai sebagainya. Itulah murninya politik. Ragam alasan bisa dikait-kaitkan. Tergantung kecenderungan kepentingan. Ada yang berkoalisi dalam Pilkada di tingkat Kabupaten/Kota, tapi berbeda dalam haluan koalisi di tingkat Provinsi.

Bahkan agak ngerinya, ada parpol tertentu yang mengelola isu umat membawa agama, tapi pada level kepentingan tertentu tidak memperjuangkan isu-isu yang sama. Fleksibelnya politik, inkonsistennya politik, jika dilihat dengan nalar politik, maka hal itu menjadi wajar-wajar saja. Seperti ada isu-isu yang tidak serius digarap. Lagi-lagi itulah praktisnya politik, yang kadang kala jauh dari harapan kita semua. Dukungan di Pilkada Serentak 2020 yang tidak parallel juga diperlihatkan parpol.

Apakah sudah seperti itu potret demokrasi kita? Memang sinergitas dalam politik yang sifatnya permanen jarang sekali kita temukan. Pada momentum Pilkada 2020 berkoalisi, tidak berarti membuat parpol itu berkoalisi lagi pada kesempatan Pilkada berikutnya. Tidak ada koalisi yang paten dalam politik. Isu pribumi dan non-pribumi juga dikelola dalam politik. Bagi saya itu biasa dalam racikan isu politik untuk berebut hati pemilih. Yang luar biasa dan riskan itu bila ada ajakan, mediskreditkan, melawan kelompok tertentu.

Baik ajakan melawan pribumi atau melawan non-pribumi, seperti ini yang perlu dihindari. Karena bertentangan dengan upaya kita anak bangsa untuk menyuarakan konsolidasi nasional. Mengintegrasikan seluruh elemen rakyat untuk hidup berdampingan secara aman, saling menghormati, sekaligus mendidik publik agar terus menjadi toleran. Bukan toleran pura-pura, atau sok toleran, toleran semu. Melainkan toleran yang benar-benar dilahirkan atas kesadaran hidup bersosial.

Inkonsistensi banyak kita temui di Pilkada Serentak, termasuk memasuki Pilkada 9 Desember 2020. Terutama pada dukungan parpol dan juga arus dukungan masyarakat terhadap kandidat Kepala Daerah yang mereka pilih. Contohnya partai A mendukung si B yang bertepatan beragama Islam, lalu dikapitalisasilah isu-isu bahwa Islam pilih Islam. Sementara di Pilgub atau Pilkada tingkat Provinsi, parpol A itu merekomendasikan dukungannya kepada figur yang bukan dari perwakilan Islam.

Gambaran standar gandanya ruang politik begitu telanjang. Alhasil, parpol A memiliki kesulitan tersendiri jika memainkan isu. Sementara itu, di Provinsi Sulawesi Utara khususnya bahkan Indonesia umumnya, parpol gagal memberikan teladan soal konsistensi. Elit parpol tidak tertib. 

Tibalah kita pada kesimpulan paling sederhana, ternyata politik itu soal kepentingan. Bukan lagi soal siapa seorang pemimpin, dari agama apa, dari suku apa, pribumi atau non-pribumi. Namun lebih dari itu, politik bicara soal kepentingan dan kemanusiaan yang lebih komprehensif. 

Artinya isu Suku Agama Ras dan Antar golongan (SARA) tidak berlaku dalam Pilkada atau dalam praktek politik. betapa gigih dan sinisnya kita memperjuangkan, melawan pihak yang memproduksi isu-isu sectarian, tetaplah secara demokratif sah-sah saja mereka dengungkan. Yang tidak perlu itu ketika mendestruksi, merugikan, menebar fitnah, mengujat, adu domba antara sesame masyarakat. Lalu berdampak melahirkan kegaduhan.

Mereka masyarakat, kader parpol atau partisan parpol yang melakukan ajakan-ajakan memilih pemimpin sejauh tidak menjatuhkan pihak lain, dalam demokrasi tidak perlu dipermasalahkan. Minimal kita hanya itu berbagi pemikiran tentang politik, apa korelasinya dengan publik. Sekali lagi politik itu beririsan dengan kepentingan semua masyarakat. Soal inkonsistensi parpol memang perlu diungkap. Sesungguhnya parpol tidak mampu memberi edukasi yang baik kepada masyarakat.

Walaupun di akhir, mereka mempropaganda isu-isu yang sempit dan membuat masyarakat saling 'perang isu'. Sedangkan mereka terlibat mesra, bercengkarama dalam kepentingan-kepentingan yang lebih menguntungkan. Semoga masyarakat tetap punya rasionalitas membaca hal ini. Isu agama yang massif dihembuskan juga akan memicu reaksi, isu agama lainnya bermunculan. Jadilah begitu akhirnya, isu dan kontra isu akan muncul saling bersaing. Skala selanjutnya, lahirlah polarisasi di tengah masyarakat.

Jika sentimen demi sentimen selalu dimainkan dalam ajang politik, hal itu tentu membawa gelombang, gejolak, serta benturan kepentingan. Yang berpotensi melahirkan konflik horizontal ketika tak dikelola dengan baik dan tertib. Keteladanan dan legacy dari elit parpol dalam membangun poros koalisi memang belum memenuhi harapan masyarakat.

Di Sulawesi Utara sendiri hanya sedikit parpol yang konsisten menjaga citra dalam berkoalisi. Sebagian parpol mendukung paslon B di Pilkada Kabupaten, lalu mendukung D saat Pilwako dan seterusnya mendukung figur F di Provinsi. Meski ada sebagian elit parpol yang konsisten memberikan rekomendasi dukungannya.

Para pemerhati politik, praktisi dan akademisi harus turun tangan menyejukkan suasana. Agar demokrasi kita yang dinamis tidak terkontaminasi dengan praktek sectarian, ujaran kebencian dan cara-cara saling menjatuhkan lainnya. Akan mengerucut ke pertentangan, jika kampanye SARA di hidupkan. Saling menjelekkan, merasa paling benar, paling layak, kemudian konteks persaingan menjadi bergeser. 

Sebetulnya demokrasi bisa melahirkan para pemimpin negarawan. Bukan pemimpin sektarian, yang cara melahirkannya dengan menyalakan api isu-isu sektarian. Para cendekiawan kita di kampus segera ambil bagian menjernihkan interaksi politik yang mulai mengaburkan nilai-nilai solidaritas sosial.

Gejala lahirnya kampanye sectarian mulai terbaca di dunia maya (Medsos) untuk Pilkada Serentak 2020 di Porvinsi Sulawesi Utara. Silahkan penyelenggara Pilkada bekerja secara professional melerai pertikaian kepentingan yang sudah mulai memanas di Medsos. Wujudkan iklim demokrasi yang produktif dan sportifitas. Serupa alaram postingan-postingan status di Facebook mulai menyelipkan satire di tengah-tengah ajakan bersatu memenangkan figur yang diyakini mewakili kelompok tertentu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun