Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aneka Ragam Koalisi, Antara Bungkus dan Isi

10 Agustus 2020   11:29 Diperbarui: 10 Agustus 2020   17:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajah koalisi parpol (Foto Kompasiana)

Kebanyakan pulik seperti tertipu membaca tradisi politik yang dibangun di era modern. Begitu banyak masyarakat terkagum, terkecoh dan sering terjebak dengan bungkus (tampilan), tampilan luar dari kelembagaan. Sebut saja seperti praktek membangun poros koalisi. Pada level masyarakat lapis bawah, mereka yang jauh dengan sentuhan langsung praktek partai politik, merasa terkesima dengan isu tertentu.

Pengelolaan isu yang diperjuangkan misalnya, ada isu kepentingan umat yang santer dibicarakan. Isu mewujudkan kesetaraan sosial, memperjuangkan kepentingan gender, anti diskriminasi, pro terhadap kepentingan masyarakat termarginal, perjuangan buruh, nelayan, petani dan seterusnya. Semua itu pada segmen tertentu begitu laku dalam pasar politik. bagi para nelayan, kepentingan yang melingkupi pekerjaan mereka yang akan diikutinya.

Mereka kurang tertarik dengan isu pertanian. Begitu pula bagi para petani, mereka akan pasif jika politisi mengobral dan menyodorkan isu-isu perikanan (nelayan), pengembangan sektor kelautan sebagai prioritas pembangunan. Hal itu berlaku seterusnya. Bagi pemilih yang tidak peka atau jauh dari sentuhan kegiatan keagamaan, isu keumatan menjadi kurang penting bagi mereka. Terlebih bagi kaum nasionalis dan rasionalis.

Tak akan tergode mereka dengan isu sektarian. Sebab parsialitas dalam politik juga kebanyakan dipengaruhi oleh relasi kepentingan dan posisi masyarakat. Apakah mereka merasa diuntungkan atau tidak dalam urusan politik tersebut. Sederhananya koalisi dalam politik itu kebanyakan hanyalah simbolis. Tidak mengakar, tidak menjamin sebuah koalisi yang menggunakan nama mentereng, lingkupnya umum atau begitu luar biasa nama koalisi itu, dengan praktek politik yang dibangun.

Ada koalisi politik yang dibangun dengan kemasan positif, seolah-olah untuk banyak pihak. Padahal hanya menjadi wadah dan instrumen memuluskan kepentingan tertentu. Koalisi menjadi alat bargaining kepentingan semata, tak lebih.

Dalam politik itu biasa, bagi saya soal penamaan koalisi bukanlah hal yang urgent. Paling utama dari itu semua adalah kita memeriksa kembali orientasi. Visi dan apa esensi dari ikhtiar politik yang dibangun dalam koalisi itu. Tidak harus berdebat dengan panamaan koalisi, ini tidaklah produktif.

Sekalipun nama koalisi itu tidak akrab di telinga masyarakat, atau bahkan terdengar menjengkelkan, jika kepentingan dan isinya positif, sebetulnya layak diberi support. 

Jangan politisi atau masyarakat pemilih terjebak pada ruang sempit mendebat nama poros koalisi. Mau koalisi kebangsaan, koalisi keumatan, koalisi pencasila, koalisi kearifan lokal, koalisi kemajemukan, koalisi keindonesiaan, koalisi Merah Putih, koalisi dinasti politik, koalisi humanisme, serta sederet nama-nama koalisi yang lainnya dipakai. Itu menjadi tidak berguna, jika aksi yang ditunjukkan tidak mencirikan nama koalisi tersebut.

Kebanyakan nama koalisi atau gabungan partai politik dalam sebuah hajatan politik hanya cenderung mengejar pangsa pasar pemilih. Mereka terfokus pada aspek elektoral, bagaimana menggait suara dukungan sebanyak-banyaknya, itu yang menjadi perhatiannya. Sehingga tersekatlah mereka, mengabaikan kerja konkrit. Sebaik-baiknya koalisi yaitu mereka yang mau berkumpul dan bekerja untuk masyarakat, bukan sekedar bekerja untuk menang dalam kontestasi politik.

Yang perlu diperhatikan pula nama dari koalisi partai politik haruslah yang akomodasi, mengakomodir semua kepentingan masyarakat yang homogen. Berkaitan dengan koalisi politik yang beraroma tema-tema keagamaan memang sensitif. Kebanyakan masyarakat memberi dukungan, ada pula yang menyampaikan protes, menolak koalisi yang mengatas namakan umat tertentu. Meski begitu, sekali lagi ini soal penamaan, tak boleh mereka para penggagas koalisi itu disalahkan.

Cukup masyarakat kita sadarkan untuk tidak memilih figur tertentu yang berada di koalisi tertentu, yang kemudian dianggap tidak mengakomodir kepentingan masyarakat lainnya. Semua pilihan akan berpangkal pada masyarakat. Kedulatan masyarakat itu tak dapat diintervensi siapapun, godaan berupa uang sebagai pengganti pilihan masyarakat juga bisa ditolak pemilih. Kemandirian pemilih kita harapkan dapat dibangun.

Kebanyakan pihak mempersepsikan dengan rebutan kepentingan. Sejatinya politik itu soal pelayanan dan kemanusiaan. Jangan sampai nilai-nilai primer itu hilang. 

Masyarakat jangan mau dibodoh-bodohi juga dengan penamaan koalisi tertentu, yang namanya politik itu bertarung kepentingan. Bukan memilih utusan agama tertentu, bukan pula saling sikut dan menjatuhkan. Saling mendominasi, mendikotomikan mayoritas dan minoritas, itu bukan tujuan politik yang mulia.

Politik bukan sekedar panggung. Melainkan lahan dan ladang mengabdi untuk banyak orang. Bukan pula menjadi pameran, berpura-pura menampilkan kesolehan sosial. Lantas setelahnya menindas masyarakat. Tujuan luhur politik yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat, tanpa tebang pilih. Itu sebabnya, bentukan koalisi dengan nama-nama tertentu tak harus membuat kita berdebat. Toh koalisi pun bukan tujuan akhir dari politik.

Poros atau kiblat koalisi tak lebih dari jembatan menuju kemenangan politik. Maka menjadi berlebihanlah mereka yang meninggikan, mengidolakan, mensakralkan, dan mengkultuskan secara berlebihan koalisi politik. Mau apa namanya, koalisi setan, koalisi sesat, koalisi sesaat, koalisi Surga dan Neraka sekalipun dalam politik tetaplah targetnya kepentingan kekuasaan. Sembari melihat koalisi, masyarakat kita ajak berfikir menyederhanakan persoalan.

Bagaimana pun juga koalisi bukan penjamin kandidat Kepala Daerah yang bertarung di Pilkada Serentak 2020 akan menang. Kemenangan bukan disitu wilayahnya, melainkan pada peran merebut hati pemilih. Sudah sejak lama saya mengerti bahwa nama poros koalisi hanya 'bungkus' seperti parsel. 

Umumnya masyarakat yang tidak berkepentingan dengan parsel itu tak mengetahui apa isinya. Berarti apa yang harus diangkat agar diketahui masyarakat?. Ya, tentu esensi atau inti (core) menjadi begitu penting. Tidak sekedar label.

Jangan malah masyarakat ikut larut dalam bentukan penamaan koalisi. Biarkan saja itu, ranahnya para elit dan praktisi politik. Masyarakat akan mengeksekusi, memastikan dan meloloskan semua tawaran koalisi itu dalam pilihan politiknya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Bila ada koalisi yang isi dan bungkusnya bagus, sama bernilainya, maka beruntunglah mereka. 

Sudah pasti akan menarik perhatian masyarakat untuk dipilih. Jika tidak, maka konsekuensinya masyarakat akan meninggalkan poros koalisi tersebut. Koalisi itu menjadi identitas atau penanda, bukan penjamin mutu dari isi koalisi. Boleh jadi dalam satu rumah koalisi, ada para bandit, alim ulama, cendekiawan, dan politisi berhati mulia.         

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun