Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bencana Covid-19 Mereduksi Rasionalitas

7 Mei 2020   16:40 Diperbarui: 8 Mei 2020   11:31 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, manusia frustasi 

Makan minum masyarakat ditanggung pemerintah. Selain itu, saat ini masih terdapat juga keanehan, seperti yang kita saksikan di Sulawesi Utara. Di daerah ini yang belum menerapkan PSBB, pemerintah daerahnya melalui Gugus Tugas, mulai melakukan pembatasan secara membabi-buta.

Rumah ibadah diberikan batasan, bahkan dihentikannya aktivitas di rumah-rumah ibadah. Mestinya pilihan tepat yang diambil pemerintah daerah yaitu ketika mengeluarkan Surat Keputusan masyarakat dipastikan tak akan mati lapar. Tidak menunggu lama dalam penyaluran bantuan. Bukan orientasi melarang dan membatasi semata, lantas sisi edukasi serta kebebasan masyarakat diberangus. Kadang-kadang pemerintah pun harus terus-menerus kita ingatkan agar tidak cacat dalam berfikir.

Sulit rasanya masyarakat menjadi tertib dan disiplin, bila soal perut (ekonomi) belum terpenuhi. Segudang surat larangan pemerintah diterbitkan, pembatasan dan bahkan ancaman disebar pun, ketika masyarakat dalam kondisi sulit mendapatkan akses ekonomi, mereka pasti merontak. Silahkan saja melarang, asalkan beri solusi tepat. Sesegera mungkin alokasikan makan minum yang memadai buat masyarakat. Jadilah pemerintah yang membaca masyarakat dengan nurani, bukan dengan syahwat politik.  

Tanpa terasa, AI terpukul mundur. Di derah-daerah belum terdengar para dokter kita, ahli medis, alhi virus yang berdasarkan keahliannya membuat vaksin. Masyarakat kita malah tervaksin dengan kenyamanan mereka mencari inspirasi dan aktivitas yang berguna, praktek itu dilakukan masyarakat kebanyakan secara otodidak. 

Misalkan pemerintah mendukung para tenaga medis, ahli virus dan lain-lainnya itu, apakah mereka mampu lahirkan temuan?. Ataukah orang-orang yang diandalkan itu malah lebih beorientasi pada proyek. Mencari keuntungan, memperkaya diri di tengah gelombang Covid-19 yang memukul kondusifitas publik secara massif ini. 

Para politisi (wakil rakyat) dan pemerintah juga kita harapkan bergerak lebih cepat. Jangan sampai masyarakat frustasi. Bertindak futuristiklah kalian para pemimpin, jangan mulutnya duluan lalu langkah dan kebijakannya belakangan. Bahkan nanti ditagih-tagih masyarakat barulah kebijakan mereka yang populis itu direalisasikan, mari jauhkan dari sikap yang demikian itu.

Bisakah Covid-19 membunuh masa depan dunia medis?. Boleh saja terjadi. Publik juga, selain gelisah, sedang belajar bagaimana memetik hikmah dari penyakit menular Covid19. Sukar dipungkiri, sekarang ini trust dan kompetensi para dokter diuji. 

Sebab, dibeberapa tempat, masyarakat menerima infomasi begitu mudahnya pasien divonis terpapar Covid-19, meski gejala sakitnya bukan karena Covid-19. Gencar juga di media sosial berita hoax, membuat sebagian masyarakat kita menjadi takut, fobia terhadap dokter. Mereka khawatir, mengidap penyakit lain, tapi kemudian divonis terpapar Covid-19. Ini suasana hati yang tidak boleh diabaikan.

Covid-19 berhasil mereduksi rasionalitas. Kaum terpelajar, mereka yang punya tabungan dan memiliki gaji bulanan juga berfikir untuk kepentingannya. Jarang bertindak kolektif membantu masyarakat kecil. Atau sekecil-kecilnya memaklumi dan menghargai masyarakat lain yang keluar rumah bekerja. Jangan teriak jaga jarak dan stay at home, kemudian menutup mata dengan kesusahan masyarakat termarginal.

Kiranya ini secerca argumen atas tuduhan terbuka saya bahwa Covid-19 mereduksi rasionalitas atau kewarasan publik. Diantaranya, banyak pihak disekitar kita mengira dan berkesimpulan stay at home menyelesaikan masalah. Akhirnya mereka sacara brutal teriak di rumah saja dan menyalahkan orang-orang di luar rumah.

Selanjutnya, fenomena lucu lainnya yaitu berupa pembatasan dan penghentian aktivitas di rumah ibadah tanpa data penyebatan Covid-19 di daerah tersebut. Ini namnya tindakan membabi-buta, irasional. Padahal, umumnya wabah yang merupakan cobaan bagi umat manusia salah satu solusi melawannya adalah dengan taubat. Kita harus mendekat diri kepada Tuhan yang kita percayai masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun