Seperti apapun kerasnya watak masyarakat, pemerintah atau kepolisian wajib mengayomi. Jangan terus mencari dalil pembenaran kekerasan, bersikap kasar sudah pasti menyalahi aturan dan melanggar HAM.
Perjalanan demokrasi yang sedang sakit memerlukan terapi. Ada dua caranya; pertama perubahan paradigma struktural yang partisipatif dan inklusif. Menjadi teladan bagi rakyat, tidak menyudutkan rakyat dalam penyelesaian masalah bangsa. Yang kedua, perubahan kultural perlu dilakukan pemerintah dengan meningkatkan disiplin. Jangan beranggapan bahwa kecurangan dalam Pemilu merupakan bagian dari demokrasi.
Seperti itu pula jangan membiasakan praktek politik dengan melakukan 'transaksi mahar'. Doktrin politik jangka pendek dan membahayakan yang sering dicekoki kepada rakyat berupa memberi harus sama besarnya dengan menerima, adalah kekeliruan fatal sebetulnya. Berdemokrasi kita punya batasan kebebasan. Tak perlu lagi ada pameran mahar parpol bagi para politisi. Pemerasan yang biasa dilakukan harus dilawan, itulah kultur yang merusak demokrasi kita.Â
Berhentilah kita merayakan demokrasi tapi memotong kebebasan orang berbicara atau menyampaikan pendapat. Termasuk prodak Undang-Undang ITE perlu mestinya dipertimbangkan lagi untuk diberlakukan.Â
Demokrasi kita bukan lagi berada dilevel simulasi, kita telah melewati jauh lintasan itu. Kebutuhan kita sekarang yaitu keberanian pemimpin berfikir dan bertindak mandiri. Waspadai jangan sampai pemimpin Negara ini didikte gerbong partai politik. Kran demokrasi dengan tidak memasang ranjau-ranjau demokrasi perlu dimuluskan. [*]