Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bukan Simulasi, Demokrasi Butuh Terapi

10 Oktober 2019   07:44 Diperbarui: 18 Oktober 2019   19:36 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sketsa buruk demokrasi | law-justice.co

BERULANG kali kita berdemokrasi, tapi hasilnya kadang tidak menjanjikan. Itu sebabnya, kita tak membutuhkan simulasi lagi. Yang kita butuhkan itu terapi atas ragam masalah yang menjangkiti demokrasi. Demokrasi ala Indonesia yang sedang menderita penyakit kambuh memerlukan pengobatan serius dan penanganan khusus.

Sudah dewasa masyarakat kita hidup di era demokrasi ini. Mereka telah 'bersetubuh' dengan demokrasi. Hal tersebut ditergambar melalui semangat gotong royong. Hingga kini kesadaran itu terus dilestarikan. Mulai dari hajatan pemilihan Kepala Desa, Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Presiden sampai memilih wakil rakyat, demokrasi menjadi peta jalan.

Menjadikan demokrasi sebagai satu-satunya pilihan. Saking berdemokrasinya masyarakat, demokrasi 'diTuhankan', berbalik menindas masyarakat. Aktualisasi demokrasi kita memang perlu diperkuat lagi. Sudah keropos sekarang, itu tercemar dan terkikis dengan derasnya nalar politik global. Tegasnya, demokrasi kita membutuhkan terapi serius. Sebab penderitaan yang dialami demokrasi kita mulai masuk stadium akhir.

 Tentu dengan perubahan yang berkelanjutan, demokrasi disembuhkan. Dari prosedural diperbaiki, menuju substansi demokrasi. Membumikan demokrasi secara sosiologis targetnya adalah memperkuat nilai kolektifitas sebagai destinasi utama. Masyarakat diajarkan menghargai perbedaan pikiran. Mendorong kebangkitan pengetahuan, melenturkan persaingan yang berujung perebutan kekuasaan semata.

Demokrasi kita yang penuh dinamika, tak boleh dilepas tanpa dikontrol. Umumnya sesuatu yang baik sekali pun bila dilepas bebas, tanpa pantauan, akan menjadi liar. Seperti itu yang akan berlaku pada demokrasi kita, bila diliberalisasi. Pembiaran terhadap demokrasi berpotensi melahirkan kebebasan kebablasan. Demokrasi itu harus bertuhan, dikendalikan orang waras. Demokrasi perlu perawatan dan tuntunan kearah kemajuan.

Bila demokrasi sakit, kita jangan lantas berdiam diri. Tetap tenang, mencari solusi dan pertolongan agar ada malaikat penolong yang dapat menawarkan terapi. Dari usaha tersebut, maka penyakit ganas demokrasi dapat diobati. Macetnya demokrasi kita terjadi diskala elit, karena terjadi proses saling unjuk kekuatan dan tawar-menawar politik.

Kita Tidak Mencari Lagi Format Demokrasi

Rasanya tidak relevan lagi, kita yang mengukuhkan Pancasila sebagai dasar ideologi Negara lalu meragukan eksistensinya. Pancasila merupakan fundamen yang universal, ia mengatur segala urusan kita di Indonesia. 

Termasuk menyelimuti warga Indonesia dalam proses berdemokrasi. Konteks demokratisasi kita yang kadang diseret ke praktek yang keliru, perlu diselamatkan ke jalan yang benar. Format demokrasi kita sudah ada, namun sedang sakit dalam implementasinya. Itu sebabnya, perlu diterapi.

Tidak perlu lagi demokrasi disebut berada pada ruang transisi atau sedang mencari bentuk. Kalau Demokrasi Pancasila masih ditengah jalan menuju cita-cita mulia, hal itu masih dapat kita terima. Artinya, bahwa kita mengakui demokrasi kita berlandaskan Pancasila. Segala bentuk kekerasan, sentralisme, dan diskriminasi dalam menejemen pemerintahan butuh terapi khusus untuk diluruskan. Jangan kita diam menyaksikan roh demokrasi dihianati.

Demokrasi yang rohnya bersama rakyat harus betul-betul dijalankan secara benar. Pemerintah dengan lembaga formalnya perlu mengurangi intensitasi perlakukan 'kekerasan' kepada warganya. Contoh kecilnya, saat momentum unjuk rasa warga diberlakukan secara kasar oleh oknum aparat kepolisian. 

Seperti apapun kerasnya watak masyarakat, pemerintah atau kepolisian wajib mengayomi. Jangan terus mencari dalil pembenaran kekerasan, bersikap kasar sudah pasti menyalahi aturan dan melanggar HAM.

Perjalanan demokrasi yang sedang sakit memerlukan terapi. Ada dua caranya; pertama perubahan paradigma struktural yang partisipatif dan inklusif. Menjadi teladan bagi rakyat, tidak menyudutkan rakyat dalam penyelesaian masalah bangsa. Yang kedua, perubahan kultural perlu dilakukan pemerintah dengan meningkatkan disiplin. Jangan beranggapan bahwa kecurangan dalam Pemilu merupakan bagian dari demokrasi.

Seperti itu pula jangan membiasakan praktek politik dengan melakukan 'transaksi mahar'. Doktrin politik jangka pendek dan membahayakan yang sering dicekoki kepada rakyat berupa memberi harus sama besarnya dengan menerima, adalah kekeliruan fatal sebetulnya. Berdemokrasi kita punya batasan kebebasan. Tak perlu lagi ada pameran mahar parpol bagi para politisi. Pemerasan yang biasa dilakukan harus dilawan, itulah kultur yang merusak demokrasi kita. 

Berhentilah kita merayakan demokrasi tapi memotong kebebasan orang berbicara atau menyampaikan pendapat. Termasuk prodak Undang-Undang ITE perlu mestinya dipertimbangkan lagi untuk diberlakukan. 

Demokrasi kita bukan lagi berada dilevel simulasi, kita telah melewati jauh lintasan itu. Kebutuhan kita sekarang yaitu keberanian pemimpin berfikir dan bertindak mandiri. Waspadai jangan sampai pemimpin Negara ini didikte gerbong partai politik. Kran demokrasi dengan tidak memasang ranjau-ranjau demokrasi perlu dimuluskan. [*]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun