Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Literasi progresif

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kecanduan Narsistik

9 Maret 2025   08:39 Diperbarui: 9 Maret 2025   08:39 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pikiran para pecandu narsistik (Dok. Ilustrasi)

YA, tidak sedikit publik figur kita di Indonesia terkontaminasi penyakit kecanduan narsistik. Mereka seperti orang sakit jiwa ketika tidak tampil di media masa, tidak mendapat liputan atau publikasi. Baik di lini media massa atau media sosial, mereka harus tampil.Terlebih politisi, karena mereka menganggap momentum itu penting. Sehingga kesempatan berbuat apa, menyampaikan apa, dan membual sekalipun harus dicitrakan melalui media. Bagi politisi, bukan lagi waktu adalah pedang. Melainkan waktu adalah uang "time is money".

Itu sebabnya, mereka pasti mau berhemat. Menabung uang untuk digunakan jorjoran saat momentum politik lima tahunan tiba. Setelah pertarungan politik, perilaku menghemat pasti mereka lakoni. Ini bukan barang baru. Bukan juga rahasia, tapi telah diketahui banyak pihak. Dan sah-sah saja hal itu.

Terkait demam atau kecanduan narsistik yang dialami politisi, di situlah kehidupan dan nafas politik dipertahankan. Bagi politisi, mereka tanpa adanya publikasi adalah kesepian. Bahkan bagi politisi kawakan, mengasingkan diri dari pemberitaan media massa adalah tindakan tolol bin dungu.

Sudah pasti merugikan. Karena karir politisi pasti ditentukan salah satunya dari interaksi media. Lebih luasnya, media Televisi, radio, koran cetak, media online, hingga media sosial (Facebook, TikTok, Instagram, Twitter, dan lain-lainnya). Jalur pernapasan politisi harus melalui media. Tanpa itu semua mereka akan mengalami kemacetan, bahkan frustasi yang luar biasa.

Dari media massa dan media sosial aspirasi, perspektif, kerja-kerja, hingga asumsi, spekulasi, bahkan skandal yang mereka lakukan dapat difilter atau dibelokkan menjadi kebaikan-kebaikan. Maksudnya, politik memang tidak semua menjadi ajang tipu-tipu. Tapi, ada sebagian politisi memang salah kaprah, dan sengaja membuat pentas politik menjadi norak dengan "melegalkan" tipu-tipu mereka.

Kalau didefinisikan, kecanduan berarti kondisi ketergantungan fisik dan mental terhadap zat, benda, atau aktivitas tertentu. Kecanduan secara terminologi disebut juga sebagai adiksi. Sudah mulai nyerempet bahaya kalau "sakitnya" seorang publik figur semakin kronis.

Dimana adiksi adalah gangguan kronis yang menyebabkan seseorang tidak dapat mengontrol diri untuk berhenti melakukan atau menggunakan sesuatu. Tentu hal ini beresiko, mengakibatkan seorang publik figur "pejabat publik" dapat mengkonsentrasikan potensi sumber dayanya untuk hal remeh temeh lalu mengabaikan kepentingan masyarakat.

Narsistik dapat diartikan sebagai seseorang yang memiliki kondisi psikologis yang ditandai dengan pola perilaku konsisten dan ugal-ugalan dalam mengagungkan diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain. Kecanduan narsistik yaitu mereka yang memiliki rasa percaya diri yang berlebihan.

Mengharapkan pujian dan perhatian dari orang lain. Sulit menerima kritik atau umpan balik. Menggunakan orang lain untuk mencapai tujuan pribadi, dan tidak memiliki empati atau perasaan untuk orang lain.

Sampai pada titik inilah, maka kerawanan dan potensi untuk lahirnya praktik rekayasa atau manipulasi mudah terjadi. Para pengambil kebijakan yang punya kemampuan mengendalikan media massa akan dengan gampang mengontrol opini publik. Merekayasa diri untuk mengatakan sesuatu yang salah menjadi benar. Dan sebaliknya yang benar disalahkan.

Orientasinya berpindah. Bukan lagi melayani hajat hidup masyarakat. Melainkan menjadi babu para pimpinan media massa, membayar buzzer, influencer, dan menjadi kaki tangan korporasi. Semoga politisi (legislator), dan elit pemerintah kita dari pusat sampai ke daerah tidak seperti itu. Karena praktis hal demikian merugikan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun