Mohon tunggu...
Asa  Wahyu  Setyawan Muchtar
Asa Wahyu Setyawan Muchtar Mohon Tunggu... Guru honorer -

Asa Wahyu Setyawan Muchtar lahir di Malang, 1971. Cerita pendeknya Kastawi Budhal Perang dimuat dalam buku Pidato Tengah Malam, Dukut Imam Widodo, penerbit Dukut Publishing, Surabaya, 2015. Sebagian tulisannya bertema seni budaya dan pendidikan dipublikasikan di harian pagi Malang Post, majalah Berkat (Surabaya). Intens mengaransemen beberapa lagu ( khususnya bertema rohani) dan pernah ditampilkan dalam Pesta Vocal Group Antar Gereja (Peskaldag) tahun 2013 dan 2015 di Malang. Sebagai guru honorer seni budaya dan menjadi peserta aktif dalam Diklat P4TK Seni dan Budaya di Sleman, Jogjakarta tahun 2010 dan 2012. Kini bermukim di Kebonagung Malang. Didapuk sebagai Ketua 1 Eklesia Prodaksen Kebonagung Malang dan penggagas Kelas Menulis di Kebonagung. Bersama tim Eklesia Prodaksen sedang menyiapkan Festival Budaya Kebonagung tahun 2016 dan Antologi Kebonagung yang menghimpun berbagai tulisan dan fotografi tentang Kebonagung. Konsep: Ikutilah kemana imajinasimu mengembara, dan ciptakanlah karya disitu tanpa batasan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kopi Kartini

23 April 2018   22:44 Diperbarui: 23 April 2018   22:47 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikmati segelas es jeruk di siang hari, bagi sebagian orang bisa melepas dahaga di sabtu siang, 21 April 2018. Gerahnya terasa menyelimuti seluruh bagian tubuh. Kata dingin selalu terngiang dan menuntun untuk segera mendapatkan penawarnya. Penawar itu sendiripun terkadang harus didapat melalui perjalanan dan waktu yang tak mudah dan singkat. Kadang pula serasa membutuhkan berlaksa-laksa menit baru didapat. Padahal, sebenarnya tidak sedikit tempat yang menyediakan segelas es jeruk. Tetapi karena rasa gerah dan haus mencekat leher bisa membiaskan pandang seakan begitu sulit mencari dan mendapatkan tempatnya.

Ya...., kesegaran es jeruk terbilang cukup ampuh mengobati gerah dahaga setelah beberapa kali motor harus sabar berhenti untuk memberi kesempatan cantiknya para kartini-kartini kecil menapaki aspal. Berbagai ragam pakaian adat dikenakan oleh mereka walaupun mereka sendiripun mungkin tidak tahu pakaian apa dan berasal dari daerah mana. Tetapi setidaknya, sejak dini mereka sudah belajar mengenal begitu kayanya keragaman budaya bangsa Indonesia, walaupun ada sedikit sesuatu yang menurut saya berbeda dan kurang pas dan pula ada kesan dipaksakan.

Kartini tak butuh "s", hanya haus yang butuh "s". Tapi tidak semua orang haus butuh es, dan yang dibutuhkan adalah air. Entah itu dingin, hangat, ataupun panas. Dan di depan ujung jalan Telomoyo, Malang sedikit bergeser ke utara aku menemukan tempat kecil terhimpit dua warung. Tampak jelas tempat kecil tersebut. Bukan karena lebih menjorok ke depan dibanding yang lain, atau pula papan tulisan yang kontras warnanya dan besar, tetapi karena kondisi warungnya yang jauh berbeda dengan yang lain.

Usai motorku terparkir, sedikit tergesa kumasuki warung kecil tersebut. Terasa suasana berbeda; Sejuk, teduh dan nyaman dengan berjajarnya 4 buah meja panjang disanding 5 bangku papan panjang pula. liar mataku menjelajah tiap sudut ruang sedikit sempit tersebut dan akhirnya kuputuskan duduk di bangku belakang berdekatan dengan televisi 20" yang diletakkan asal saja dipermukaan meja paling belakang.

"Aneh...." batinku nyletuk.

Di depannya, seorang perempuan sedang menyelonjorkan kepala dan tangannya di atas meja sambil terkantuk-kantuk. Wajahnya tampak sayu lelah terhias pula uban terburai di atas kedua kening keriputnya.

Perlahan aku meletakkan pantatku di bangku panjang pilihanku. Namun seketika itu juga tubuhku melayang jatuh dalam jurang yang curam tanpa ada teriakan sedikitpun dan pasrah ajal menjemput. Ulu hati tegang jantung berdegup kencang serta pandangan kosong. Ketakutan datang menghantui tak bertemu lagi dengan anak isteriku.

Tetapi, beberapa saat baru aku sadari ternyata bangku panjang dua meter tersebut papannya terlalu lentur dan hanya ditopang dua pasang kaki dimasing-masing ujungnya tanpa ada penyangga. Otomatis bagian tengah melengkung terayun ketika tertindih beban.

Kembali aku letakkan pantatku dibangku tersebut tanpa ada lagi rasa takut terjatuh dalam jurang.

"Bu, minta es jeruknya ya!"

Perlahan pintaku ditengah riuhnya obrolan pengemudi ojek online yang asyik menikmati minumanya. Tampaknya disini juga sebagai semacam base camp mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun