Menikmati segelas es jeruk di siang hari, bagi sebagian orang bisa melepas dahaga di sabtu siang, 21 April 2018. Gerahnya terasa menyelimuti seluruh bagian tubuh. Kata dingin selalu terngiang dan menuntun untuk segera mendapatkan penawarnya. Penawar itu sendiripun terkadang harus didapat melalui perjalanan dan waktu yang tak mudah dan singkat. Kadang pula serasa membutuhkan berlaksa-laksa menit baru didapat. Padahal, sebenarnya tidak sedikit tempat yang menyediakan segelas es jeruk. Tetapi karena rasa gerah dan haus mencekat leher bisa membiaskan pandang seakan begitu sulit mencari dan mendapatkan tempatnya.
Ya...., kesegaran es jeruk terbilang cukup ampuh mengobati gerah dahaga setelah beberapa kali motor harus sabar berhenti untuk memberi kesempatan cantiknya para kartini-kartini kecil menapaki aspal. Berbagai ragam pakaian adat dikenakan oleh mereka walaupun mereka sendiripun mungkin tidak tahu pakaian apa dan berasal dari daerah mana. Tetapi setidaknya, sejak dini mereka sudah belajar mengenal begitu kayanya keragaman budaya bangsa Indonesia, walaupun ada sedikit sesuatu yang menurut saya berbeda dan kurang pas dan pula ada kesan dipaksakan.
Kartini tak butuh "s", hanya haus yang butuh "s". Tapi tidak semua orang haus butuh es, dan yang dibutuhkan adalah air. Entah itu dingin, hangat, ataupun panas. Dan di depan ujung jalan Telomoyo, Malang sedikit bergeser ke utara aku menemukan tempat kecil terhimpit dua warung. Tampak jelas tempat kecil tersebut. Bukan karena lebih menjorok ke depan dibanding yang lain, atau pula papan tulisan yang kontras warnanya dan besar, tetapi karena kondisi warungnya yang jauh berbeda dengan yang lain.
Usai motorku terparkir, sedikit tergesa kumasuki warung kecil tersebut. Terasa suasana berbeda; Sejuk, teduh dan nyaman dengan berjajarnya 4 buah meja panjang disanding 5 bangku papan panjang pula. liar mataku menjelajah tiap sudut ruang sedikit sempit tersebut dan akhirnya kuputuskan duduk di bangku belakang berdekatan dengan televisi 20" yang diletakkan asal saja dipermukaan meja paling belakang.
"Aneh...." batinku nyletuk.
Di depannya, seorang perempuan sedang menyelonjorkan kepala dan tangannya di atas meja sambil terkantuk-kantuk. Wajahnya tampak sayu lelah terhias pula uban terburai di atas kedua kening keriputnya.
Perlahan aku meletakkan pantatku di bangku panjang pilihanku. Namun seketika itu juga tubuhku melayang jatuh dalam jurang yang curam tanpa ada teriakan sedikitpun dan pasrah ajal menjemput. Ulu hati tegang jantung berdegup kencang serta pandangan kosong. Ketakutan datang menghantui tak bertemu lagi dengan anak isteriku.
Tetapi, beberapa saat baru aku sadari ternyata bangku panjang dua meter tersebut papannya terlalu lentur dan hanya ditopang dua pasang kaki dimasing-masing ujungnya tanpa ada penyangga. Otomatis bagian tengah melengkung terayun ketika tertindih beban.
Kembali aku letakkan pantatku dibangku tersebut tanpa ada lagi rasa takut terjatuh dalam jurang.
"Bu, minta es jeruknya ya!"
Perlahan pintaku ditengah riuhnya obrolan pengemudi ojek online yang asyik menikmati minumanya. Tampaknya disini juga sebagai semacam base camp mereka.