Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dan Langit Pun Tersenyum (Sampel 2)

18 Maret 2018   08:44 Diperbarui: 18 Maret 2018   09:14 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Boleh jadi seperti itu

Keluar dari kendaraan, aku berjalan dengan tangan bersedekap karena dinginnya hawa pegunungan. Jarak tempat parkir ke cottage RA sekitar seratus meter, dengan jalan setapak menanjak. Aku berjalan menaiki anak tangga yang tersusun rapi. Tinggi anak tangga itu masing-masing sekitar 20 sentimeter, yang sudah dilapisi marmer berwarna putih susu. 

Di kedua sisi anak tangga yang lebarnya empat meter itu, terdapat pula pot-pot besar mewadahi bougiville berjejer-jejer ke atas, dengan bunganya berwarna-warni. Minimal tiga, sering empat kali seminggu aku berkunjung ke sini. Tukang parkir, manajer,  apoteker, para dokter dan psikolog, juga Mbak Karsih, yang tugasnya khusus untuk urusan remeh-temeh  keperluan RA, semuanya mengenalku secara akrab. Sebab mereka tahu RA dalam pengampuanku.

Hari ini RA  genap dua bulan  dalam perawatan intensif.

Aku berbesar hati dipersilahkan duduk di teras kamar yang nyaman oleh mbak Karsih. Seharusnya, seminggu yang lalu RA sudah diperbolehkan pulang, bisa berobat jalan, tapi aku menahannya. Dan ia setuju. Menurut pandanganku ia belum layak pulang.

Rissa keluar kamar menyambutku setelah aku menunggu agak lama. Kami saling menyapa, saling pandang sejenak. Sekilas tatapannya sulit kutebak, agak aneh. Kutanya kondisinya, meski aku tahu ia sudah baik dan dalam keadaan sehat wal'afiat. Ia duduk di hadapanku berjarak kira-kira lima depa.  Sedikit tersenyum menatapku. Tidak lagi seperti dulu, selalu ada kejutan, atau semacam suspensikeceriaan dalam setiap pertemuan kami, yang menimbulkan gelora jiwa, begitu saja muncul secara natural. Kini sirna.

Rupanya gelora itu telah bergeser, bahkan berbeda - setiap aku datang ia selalu berucap, bahwa ia senantiasa merepotkanku. Selalu kutimpali, bahwa begitulah seharusnya aku berbuat jika ia setuju. Ia tersenyum tulus mendengar ucapanku begitu. Aku tahu ia senang. Ia tahu ucapanku tulus. Memang selayaknya begitu.

Seperti biasanya, mbak Karsih menyuguhkan makanan ringan, layaknya aku seorang tamu. Angin pegunungan berdesir menyapa rambutku. Aku masih sempat mengagumi Rissa. Potongan pakaian apa saja, ia selalu cocok mengenakannya. Ia mengingatkanku pada Anne, gadis bule yang nyaris membawa petaka itu bagi aku dan Sendi waktu kami di Amerika dulu, yang selalu mengenakan kemeja gombor. Bedanya, Rissa membiarkan bajunya tergerai menutupi tubuhnya sampai mata kakinya, sedangkan Anne dimasukkan ke dalam celana jeannya yang ketat dengan membiarkan dua kancing atas kemejanya terbuka. 

Waktu itu kami nyaris menanggelamkan diri ke jurang kekonyolan sekaligus kebodohan, hanya karena terpesona dengan kata-kata dan pesona fisiknya. Aku malu dengan Sendi sebab dialah yang menolak keras terhadap ajakan dua gadis bule itu, sehingga terhindar dari perbuatan terhina dan dosa zinnah itu. Putra sulung Bang No' itu sungguh luar biasa perangainya, meski muda belia. Aku diminta Bang No' untuk menjaganya selama liburan di Amerika, tapi justru dia yang mengamankan aku. Sampai kini aku terus mengaguminya. 

Selama dua bulan dalam perawatan intensif, sejujurnya perasaan cintaku terhadap Rissa semakin menipis, berubah menjadi perasaan kasih sayang yang mendalam, meluap-luap namun tertahan. Tak ubahnya seperti kakak-adik . .  .  mungkin itu terlalu berlebihan. Seperti seorang teman akrab yang ditimpa kesusahan, dan mencoba menolongnya . . . boleh jadi seperti itu. Apakah ini akibat dari rasa iba yang berlebihan, entahlah! Ternyata berujung pada konsekuensi logis suasana hatiku. Sebab kedekatanku nyaris tanpa jarak dengannya!

Namun, semua itu berhasil kutepis. Kami ngobrol ini-itu, mengingat masa lalu yang indah sejenak. Meskipun ia tidak menanyakan obsesiku, tapi kuceritakan panjang-lebar. Kutinggalkan dunia pendidikan itu, semata untuk menghajikan kedua orang tua, sebab aku punya 'hutang' sama orangtuaku. Yaitu sepetak tanah tempo hari untuk biayaku merantau-terjual. Semula sepetak tanah itu untuk biaya mereka naik haji. Selalu terngiang-ngiang niat mereka itu dalam telingaku.Kamu boleh sebut aku berlebihan..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun