*Meneruskan kembali sebuah tulisan yang mungkin bisa mengisi ruang-ruang kosong kesadaran elemen sebuah bangsa yang belum terisi*
Oleh. M. Arief Pranoto
Pernyataan pengamat militer Connie Rahakundini menarik ditelaah bersama. Setelah Libya, target Amerika Serikat (AS) berikutnya adalah Papua (27 Maret 2011). Statement Connie bukannya tanpa dasar (TV One, 26/3/2011), adanya informasi Papua menjadi target AS selanjutnya sudah beredar di kalangan intelijen, bahkan sumber di Departemen Luar Negeri mengungkap terdapat usaha intensif beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat AS kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan secara bertahap.
Ia memberi analogi kasus Libya yang mirip lepasnya Timor Timur doeloe. Ya, melalui dalih hak asasi manusia (HAM) dan demokratisasi, lalu Australia, AS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menekan Pemerintah Habibie, padahal minyak di celah Timor merupakan tujuan dan kini tengah digarap Australia. Begitu pula Libya, kembali alasan HAM dan demokratisasi mengemuka, kemudian AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menyerang Pemerintah Gaddafi, sedang ujungnya ingin menguasai minyak Libya (baca: Perampok Internasional dan Kisah Utang Dibayar Bom di www.theglobal-review.com, dan Perampokan ala NATO by Dina Y. Sulaeman). Agaknya sinyalemen KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama semakin mempertebal pernyataan Connie tadi, “bahwa NKRI diujung tanduk karena sparatisme Papua sebenarnya bukan mainan rakyat Papua, tetapi mainan asing dengan konspirasi sangat rapi” (RIMANEWS, 5/12/2011).
Adalah keprihatinan Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), Jakarta, perihal hiruk-pikuk Papua seperti menyentak kita bersama:
“ .. tidak benar apabila dikatakan Jawa menjajah Papua, Jakarta menjajah Papua. Kondisi sekarang ini setelah kematian Sukarno kita memang dijajah. Jangan sampai nanti Papua lepas generasi muda sudah kehilangan modal utamanya. AS sudah melihat kecenderungan anak-anak muda Indonesia sekarang lebih ke arah sosialisme, mereka gandrung dengan Hugo Chavez, Evo Moralez, atau Ahmadinedjad ..”.
Hendrajit meneruskan:
“ ..mereka inilah yang akan tumbuh pada lima atau sepuluh tahun mendatang, mengancam keamanan investasi AS, anak-anak muda sekarang beda dengan kelompok muda dididikan orde baru, mereka lahir dari situasi kritis dan penuh akses informasi. AS mengantisipasi bila tidak ada gerakan politik yang bisa mengamankan investasinya di Papua, maka nasionalisasi atas perusahaan dan tambang-tambang asing tinggal tunggu waktu ..”
Penulis buku Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia menekankan lebih lanjut:
” .. kekerasan di Papua, bukanlah kekerasan Jawa, bukanlah kekerasan rakyat Indonesia terhadap orang Papua. Tapi kekerasan diluar daya jangkau kekuasaan rakyat ini yang dikebiri pemerintahan boneka. Papua adalah bagian dari Indonesia, rakyat merasa satu seperti ketika berteriak saat Rully Nere menggocek bola sampai Okto. Mereka adalah satu. Tapi Pemerintahan yang sekarang membuktikan dirinya tidak berani, memamerkan diri seolah jadi pemerintahan satelit Amerika. Bila memang mau referendum itu harus mengikuti seluruh rakyat Indonesia, karena rakyat inilah pemilik sah tanah air Indonesia, dari Sabang sampai Merakuke (tambahan penulis:”dari Miangas hingga Rote”) ..”
Pernyataan ketiga person di atas, mungkin mewakili sekaligus memberi gambaran bahwa terdapat anasir internal didukung asing berupaya “melepaskan diri” dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini bukan sekedar rumor. Tanda-tandanya jelas. Pola yang diterapkan identik dengan beberapa peristiwa sebelumnya di berbagai belahan dunia. Selalu isue HAM dihembuskan, freedom, demokratisasi, kemiskinan dan lainnya, berujung pada pemisahan wilayah via referendum. Paket awal lazimnya via isue-isue aktual yang diangkat segelintir individu (komprador) lokal yang telah tergadai jiwa nasionalismenya, atau melalui organisasi massa (ormas) setempat dan terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang nge-link ke LSM asing dengan promosi media massa secara gencar.