Mohon tunggu...
budi muhaeni
budi muhaeni Mohon Tunggu... Penulis

saya masih rutin jogging untuk 10 km; saya tertarik dengan topik-topik kepemimpinan, psikologi, dan perilaku; saya juga menggemari bacaan atau cerita-cerita tentang hikmah kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Belajar Dari Kereta Di Negeri Matahari Terbit

6 Oktober 2025   00:56 Diperbarui: 6 Oktober 2025   00:56 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalur Kereta di Jepang (Sumber: Foto Pribadi)

Ada rasa haru sekaligus kagum yang sulit saya ungkapkan ketika pesawat yang saya tumpangi perlahan mendarat di Bandara Haneda, Tokyo. Setelah perjalanan panjang, akhirnya saya tiba di negeri yang sering dijuluki Negeri Matahari Terbit --- Jepang. Tujuan utama saya sederhana: menjenguk anak yang sedang menempuh studi di sana. Namun siapa sangka, dari perjalanan dua minggu itu, saya justru seperti mendapat pelajaran hidup baru --- tentang waktu, keteraturan, dan arti kedisiplinan --- semuanya saya temukan dari satu hal yang tampak sepele: kereta.

Selama dua minggu tinggal di Jepang, mayoritas mobilisasi kami mengandalkan transportasi publik, terutama kereta api. Di Jepang, kereta bukan sekadar alat transportasi --- ia adalah urat nadi kehidupan masyarakatnya. Dari kota besar seperti Tokyo, Osaka, dan Kyoto, hingga ke wilayah kecil di pinggiran, semuanya terhubung oleh jalur rel baja yang tertata rapi dan efisien. Dengan biaya relatif murah, kereta menjadi pilihan utama, bahkan bagi para eksekutif, pelajar, dan wisatawan seperti saya.

Bayangkan, dari pagi buta hingga larut malam, kereta-kereta itu terus bergerak dengan presisi waktu yang nyaris sempurna. Tidak ada yang terlambat, tidak ada yang tumpang tindih. Satu menit saja menjadi hal besar di sini. Begitu disiplin waktu dipegang, sehingga orang Jepang sering menjadikannya bagian dari harga diri. Saya teringat satu momen ketika seorang masinis meminta maaf secara resmi karena kereta berangkat 20 detik lebih awal dari jadwal. Dua puluh detik! Di tempat lain mungkin tidak dianggap masalah, tapi di Jepang --- itu soal tanggung jawab moral.

Dari perjalanan harian kami ke berbagai tempat, saya menyadari bahwa budaya naik kereta di Jepang bukanlah hal yang instan. Ia adalah hasil dari proses pendidikan yang panjang dan sistematis. Sejak usia dini, anak-anak di Jepang telah diajarkan untuk mandiri dan menghargai keteraturan sosial. Anak-anak taman kanak-kanak berjalan kaki menuju sekolah, dengan topi kuning dan ransel besar di punggung mungil mereka. Mereka berjalan berbaris, tanpa diantar orang tua, hanya dipantau dari jauh. Anak-anak usia SD sudah mulai menggunakan sepeda, dan pada usia tertentu, mereka diperbolehkan naik kereta sendiri. Semua dilakukan dengan rasa tanggung jawab dan kedisiplinan yang tinggi.

Dari situ saya belajar, bahwa disiplin bukan sekadar aturan, melainkan kebiasaan yang tertanam sejak kecil. Naik kereta bukan cuma soal pergi dari satu tempat ke tempat lain, tapi juga soal menghargai waktu, mematuhi tanda, dan menghormati sesama pengguna. Tidak ada yang mendorong di pintu masuk, tidak ada yang berteriak, tidak ada yang seenaknya duduk di tempat prioritas. Semua berjalan rapi, seperti orkestra yang memainkan harmoni keteraturan.

Tak heran bila Jepang dikenal sebagai negara paling disiplin di dunia. Bahkan istilah workaholic --- orang yang gila kerja --- konon bermula dari sini. Orang Jepang bekerja dengan semangat luar biasa untuk mencapai target yang presisi. Mereka bisa pulang malam, tapi tetap datang tepat waktu esok harinya. Dari wajah-wajah serius di dalam kereta pagi hari, saya bisa melihat etos kerja yang luar biasa.

Kereta di Jepang benar-benar menjadi simbol produktivitas nasional. Secara statistik, berjuta-juta orang menggunakannya setiap hari. Bayangkan, setiap jam ribuan kereta beroperasi di berbagai rute tanpa tabrakan, tanpa kekacauan, dan tanpa keluhan berarti. Ada sekitar lima jalur utama yang menyusuri kepulauan Jepang, membagi arah lintasan dari utara ke selatan, dari barat ke timur. Jalur ini saling terhubung dengan jaringan kereta regional dan lokal, menciptakan sistem transportasi yang rumit, namun terkelola dengan luar biasa.

Saya sempat berpikir, bagaimana mungkin sistem yang begitu padat ini bisa berjalan tanpa celah? Jawabannya hanya satu: manajemen yang luar biasa dan kedisiplinan yang nyaris sempurna. Tidak semua kereta di Jepang baru, tapi semuanya berfungsi dengan baik. Jadwal, perawatan, kebersihan, hingga tata cara naik-turun penumpang --- semua diatur dengan standar tinggi dan ditaati penuh oleh masyarakat.

Kedisiplinan itu bukan hanya milik pengelola kereta. Di jalanan pun saya melihat hal serupa. Pejalan kaki menyeberang hanya ketika lampu hijau menyala, pengendara sepeda berhenti di garis putih, pengemudi mobil tak pernah membunyikan klakson sembarangan. Semuanya bergerak dengan kesadaran kolektif yang kuat. Tidak ada petugas yang perlu berteriak, tidak ada kamera pengawas di setiap sudut, tapi semua berjalan tertib. Seolah-olah masyarakat Jepang memiliki kesepakatan tak tertulis: "Tertib adalah tanggung jawab bersama."

Tanpa terasa, dari hari ke hari, perjalanan saya di Jepang berubah menjadi semacam kursus singkat tentang manajemen hidup. Setiap kali menunggu kereta di peron, saya seperti sedang belajar memahami irama kedisiplinan yang mengorkestrasi seluruh penggunanya. Dari tiket gate otomatis yang presisi, dari penanda di lantai yang membuat antrean rapi, dari suara pengumuman yang lembut tapi tegas --- semua mengajarkan makna keteraturan, kesabaran, dan rasa saling menghormati.

Dan entah kenapa, setiap kali kereta melaju meninggalkan stasiun, ada semacam renungan yang timbul: "Inilah Jepang --- bangsa yang bangkit dari reruntuhan." Tahun 1945, dua kota besarnya, Hiroshima dan Nagasaki, luluh lantak oleh bom atom. Dunia mengira Jepang akan tamat. Tapi lihatlah kini: dari reruntuhan itu mereka bangkit, menata ulang peradaban, dan menjelma menjadi raksasa teknologi dunia --- dari otomotif, elektronika, hingga riset pangan dan pertanian.

Saya pun merenung, bagaimana bangsa yang pernah hancur total bisa sedisiplin itu? Jawabannya mungkin karena mereka tidak pernah berhenti belajar, bahkan dari hal yang tampak sederhana: naik kereta dengan tertib. Mereka belajar menghargai waktu, menghargai sistem, dan menghargai orang lain. Nilai-nilai itu kemudian meresap ke semua aspek kehidupan --- di kantor, di sekolah, di jalan, bahkan dalam budaya mereka sehari-hari.

Ketika masa dua minggu itu berakhir dan saya kembali ke Indonesia, ada semacam rasa kehilangan. Tapi juga ada bekal berharga yang saya bawa pulang --- bukan oleh-oleh, melainkan pelajaran hidup dari negeri matahari terbit. Bahwa keteraturan tidak lahir dari peraturan semata, tapi dari kesadaran bersama. Bahwa kemajuan bangsa tidak dibangun dari gedung tinggi dan mesin canggih, tapi dari perilaku disiplin dan rasa tanggung jawab individu terhadap waktu dan sesama.

Dari perjalanan sederhana menjenguk anak, saya justru mendapat pelajaran besar: naik kereta bukan hanya soal berpindah tempat, tapi juga soal berpindah kesadaran --- dari kebiasaan santai menuju ketepatan, dari individualitas menuju harmoni sosial. Dan mungkin, jika kita mau belajar sedikit saja dari cara Jepang "berjalan di rel", bukan tidak mungkin kita pun akan sampai lebih cepat ke tujuan kemajuan bangsa. (BM)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun