"Heh? Puasa kok bisa terpaksa?" tanya si pemilik rumah keheranan.
"Saya, sih, maunya gak puasa, Om. Tapi semua temen pada puasa. Mau makan siang gak ada temen. Jadi saya pikir, ah tanggung, mending puasa aja sekalian," jawab saya tanpa rasa sungkan sama sekali.
Bukan sekali ini saya menjawab kayak di atas. Dan biasanya orang yang mendengar jawaban kayak gitu akan langsung mencemooh, 'ya ngapain lu puasa kalo gitu? Lu cuma dapet lapernya doang. Udah laper malah lu dapet dosa karena mempermainkan rukun islam.' Dan masih banyak lagi celaan yang senada.
Saya sangat yakin kali ini Si Om juga akan mengatakan hal yang kurang lebih sama. Pastilah dia akan memberi khotbah panjang lebar tentang agama dengan segala dosa dan pahalanya. Dan saya pun udah siap menghadapi pepesan kosong orang tua ini.
Semua temen juga kaget mendengar jawaban saya. Suasana menjadi agak tegang. Mata mereka melompat-lompat dari saya lalu pindah ke arah Si Om. Ruangan mendadak hening. Semua menunggu reaksi ayah Dita atas jawaban saya.
Si Om juga masih terdiam. Matanya terus menatap saya tapi senyumannya tidak tenggelam dari permukaan wajahnya yang ramah dan teduh
Dengan langkah perlahan, dia berjalan menghampiri lalu menepuk-nepuk pundak saya sambil berkata, "Bagus, Bud! Bagus sekali."
Saya tentu saja heran bin bingung bukan main. Ini bukan reaksi yang saya harapkan. Padahal saya udah siap berdebat dengan orang tua ini, loh. Gimana sih ini bapak? Terpaksa puasa kok malah di bilang bagus?
"Kok, bagus, sih, Om?" tanya saya dengan suara perlahan.
"Ya, bagus, dong. Sementara orang lain terpengaruh sama yang buruk, eh, kamu malahan terpengaruh sama yang baik. Saya doakan semoga puasa kamu dapat ganjaran yang setimpal," sahut Si Om masih menepuk-nepuk pundak saya.
"Tapi kan saya puasanya terpaksa, Om?" tanya saya penasaran.