Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Si Pikun dan Si Baper

13 Oktober 2017   16:25 Diperbarui: 13 Oktober 2017   16:34 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan ini ingatan saya semakin lemah. Entah kenapa, saya gampang sekali lupa, padahal usia saya masih tergolong muda. Tahun ini usia saya baru saja memasuki kepala 4 (pasti banyak yang sewot nih!). Hal ini agak mengherankan sebenernya, sebab sejak dulu saya selalu dikagumi orang-orang terdekat karena ingatan saya sangat tajam bahkan saya mampu mengingat apa yang terjadi dengan detil ketika saya masih berusia 4 tahun.

Kelemahan mengingat ini untungnya tidak berlaku di semua hal. Dari semua memori, yang paling banyak terhapus adalah wajah teman-teman lama termasuk namanya. Tadinya sih ini gak terlalu jadi masalah tapi sejak munculnya FB, tiba-tiba muncul musim reuni yang gak kalah hits dengan musim duren yang sekarang bisa kita temui sepanjang tahun. Nah, masalah pikun ini mulai merepotkan karena teman-teman sekolah SD sampe universitas doyan banget bikin reuni.

Suatu hari saya sedang menghadiri reuni sekolah menengah yang diadakan di sebuah gedung pertemuan di bilangan Kebayoran Baru. Temen-temen yang datang lumayan banyak. Dan believe it or not, dari semua teman yang hadir, hampir semuanya saya lupa baik itu wajah dan namanya. Herannya, teman-teman itu justru masih mengingat saya dengan baik.

"Hey, Bud. Apa kabar? Lo masih inget gue, gak?" tanya seseorang saat saya sedang mengantri untuk makan di meja prasmanan yang bentuknya memanjang.

"Sorry, elo siapa, ya? Gue lupa lagi, nih," jawab saya sejujurnya.

"Gue Ikhsan. Dulu kita pernah sekelas waktu kelas 2," kata orang itu lagi.

Dengan teliti saya pandang orang itu lekat-lekat sambil mengerahkan kemampuan memori di kepala. Orang itu berwajah menyenangkan dengan kumis kecil dan rapih di atas bibirnya. Namun sialnya, walaupun sudah memaksimalkan otak sampe pol, tetap saja saya gagal mengingat orang itu, "Sorry, gue lupa banget."

Orang itu tersenyum bijaksana lalu berkata lagi, "Iya, gak papa. Kita emang udah semakin tua, sangat wajar kalo ingatan kita tidak setajam dulu lagi."

"Iya, maaf, ya," kata saya lagi.

"It's okay," sahut Ikhsan menepuk pundak sambil tersenyum kemudian beranjak pergi dengan muka datar.

Sayangnya gak semua orang bisa sepengertian kayak Ikhsan. Maklumlah kan orang semakin tua jadi semakin sensitif, di usia sekarang mereka jadi gampang baperan. Banyak yang gak terima ketika mengetahui kalo saya melupakan mereka.

"Assalammualaikum, Budiman Hakim!!! Antum Budiman Hakim, kan?" Tiba-tiba seorang tinggi besar, berwajah arab dan berjanggut lebat menyapa saya dengan suara menggelegar.

"Iya betul," sahut saya.

"Hehehee... Antum apa kabar, Bud? Ana kangen banget sama, Antum!" Orang bertubuh raksasa itu mengembangkan tangannya dengan isyarat hendak memeluk.

"Ahamdulillah gue baik-baik aja," kata saya sambil membentangkan tangan menyambut pelukannya.

"Huhuhu... Udah berapa lama ya kita gak ketemu. Antum sehat-sehat aja kan?" Rupanya temen saya ini beneran kangen banget karena dia menangis kecil tersedu seraya memeluk saya lama sekali sementara kedua tangannya terus menepuk-nepuk punggung saya.

"Maaf, elo siapa ya?" tanya saya setelah pelukan berakhir.

"Heh? Masa Antum gak inget? Ana Alwi. Ana duduk persis di belakang Antum waktu kelas 3," kata orang itu.

Tiga menit berikutnya saya belanjakan penglihatan untuk memandangi Alwi. Saya perhatiin matanya, hidungnya namun lagi-lagi, saya gagal untuk mengingat orang itu, "Sorry, memori gue udah kacau nih. Gue udah lupa sama sekali."

"Ah sombong sekali Antum sekarang! Mentang-mentang udah sukses, Antum gak mau kenal lagi sama teman lama?" kata Alwi dengan nada keras.

"Gue sama sekali belom sukses tapi emang beneran gue gak inget sama lo," kata saya.

"Resek, lo!" bentak Alwi lalu pergi meninggalkan saya. Segitu marahnya sampe-sampe dia lupa untuk menggunakan kata 'antum'

Belom lagi orang tersebut pergi jauh, sekonyong-konyong seseorang menutup mata saya dari belakang. Sambil ketawa cekikikan, orang itu berkata, "Budiman Hakim! Sebelum lo ngeliat muka gue, ayo coba tebak dulu siapa gue. Hayo tebak, lo ngenalin gak suara gue?"

"Nyerah deh gue..." Jawab saya. Dari suaranya sih jelas dia berjenis kelamin perempuan tapi suaranya sama sekali gak mengantarkan saya ke sebuah nama tertentu.

"Nih, liat gue siapa?" Orang itu melepaskan tangannya dari mata saya.

Saya membalik badan untuk mencari tahu identitasnya.Di sana berdiri seorang perempuan yang cantik, dia tersenyum-senyum manis sekali sambil menunggu saya untuk menebak namanya. Namun seperti sebelumnya, saya gak mampu mengingat perempuan ini.

"Sorry, gue lupa," kata saya.

"Gue Nina," kata orang itu, "Udah inget, kan?"

"Nina mana, ya? Kita pernah sekelas gak?"

"Eh, Bud! Gue kan gak banyak berubah dari jaman kita sekolah dulu. Emang beneran lo gak inget sama gue?"

"Sorry, gue gak inget sama sekali," jawab saya lagi dengan nada bersalah.

"Taik, lo!!!" bentak perempuan itu lalu meninggalkan saya dengan marah.

Merasa suasana gak menguntungkan, akhirnya saya berkumpul di pojok deket gerobak es krim yang berada di sudut paling luar. Di sana saya berkumpul bersama teman-teman sesama perokok. Sebagian besar dari mereka saya inget karena memang sering ketemu sebelum reuni ini berlangsung.

"Bud, temen-temen pada ngeluh, tuh. Katanya lo songong sekarang udah lupa sama mereka," kata seseorang bernama Yuyun sambil menghisap cerutunya dalam-dalam.

"Iya, ingatan gue udah payah, nih," kata saya, "Kalo yang cowo-cowo pada kesel sih gue gak peduli. Tapi tadi ada yang namanya Nina marah banget gara-gara gue lupa sama dia."

"Kalo lo gak inget sama yang lain, kita mah masih bisa ngerti. Tapi kalo lo gak inget sama Nina. itu mah emang keterlaluan..." kata seorang teman lagi yang bernama Hidayat.

"Kenapa keterlaluan?" tanya saya kebingungan.

"Ya, gak panteslah lo lupa sama dia. Nina kan dulu cewe paling cantik di sekolah. Dia primadona yang diperebutkan semua cowo. Beneran lo gak inget sama sekali?" tanya orang itu lagi.

"Iya gak inget. Hehehehe...." jawab saya dengan perasaan gak enak.

Ketika acara reuni hampir berakhir, saya bersiap-siap pulang dan menyalami semua orang yang saya inget dan yang gak inget. Sewaktu pamitan sama Nina, dia menyalami tangan saya tanpa berkata sepatah kata dengan raut muka judes.

Dalam perjalanan menuju mobil, tiba-tiba seseorang menepok pundak saya dari belakang, "Hey, Budiman Hakim. Lo Budiman, kan?"

Ketika membalikkan badan, saya melihat perempuan memakai pakaian serba hitam. Wajahnya ditutupi cadar kayak perempuan-perempuan Iran. Seluruh tubuhnya dari atas kepala sampai ke ujung kaki dikerudungi oleh kain hitam. Yang tersisa hanya matanya doang yang tidak tertutup tapi itupun masih terhalang oleh kacamatanya yang berwarna biru dan agak gelap.

"Heh, Bud? Lo lupa sama gue? Coba lo pandang gue baik-baik, masa sih lo gak inget sama gue?" tanya perempuan bercadar itu lagi dengan suara mendesak.

Saya masih terdiam sambil memandang gulungan kain hitam di hadapan saya.

"Heh? Lo beneran gak inget sama gue? Gue aja inget sama lo," kata cewe itu mulai ketus.

Entah karena udah dongkol dengan situasi yang terjadi selama reuni, entah karena mood saya lagi jelek, tanpa sadar saya menghampiri cewe itu dan membentak, "Heh, Mbak!!! Temen-temen lain yang mukanya jelas aja, gue lupa. Apalagi elo yang ketutupan cadar? Pake otak lo dong kalo mau nanya. Muka lo aja gak keliatan sama sekali. Lo pikir gue tukang sulap apa bisa nebak muka orang yang ketutupan kain item? Resek lo!!!"

Perempuan itu kaget ngeliat reaksi yang diterimanya tapi saya gak peduli dan langsung pergi ke arah mobil dan menuju pulang.
Sesampainya di rumah, suasana hati saya masih diselimuti mendung. Untuk mengalihkan pikiran yang penat, saya iseng-iseng buka Facebook dan browsing-browsing di situs itu. Di layar atas sebelah kanan, saya ngeliat ada notifikasi dari seorang teman jaman SMA dulu, namanya Nevy. Dia mengirim direct message melalui inbox.

Setelah membaca pesannya, saya tersenyum kecil. Rupanya Nevy cuma ingin menanyakan apakah dia bisa membeli buku saya yang terbaru. Saya jawab aja 'bisa', kemudian percakapan diteruskan dengan basa-basi yang membosankan. Sampai akhirnya tiba-tiba saya kepikiran untuk mencoba bertanya sesuatu pada Nevy.

"Nev, kita kan temen satu SMA. Gue mau tanya nih tapi lo harus jawab jujur, ya?" tulis saya.

"Okay, lo mau nanya apa, Bud?" sahut Nevy.

"Kita kan setelah lulus SMA gak pernah ketemu lagi. Nah, pertanyaan gue adalah lo masih inget gak sama gue? Lo tau gak gue yang mana? Kita pernah sekelas gak?" Seperti senapan mesin saya memberondong Nevy dengan serenceng pertanyaan.

Cukup lama Nevy gak merespon pertanyaan itu, sampai akhirnya dia menjawab, "Emang penting ya kalo gue inget sama elo atau nggak?"

"Penting, dong. Kalo lo gak inget sama gue, artinya kita bukan temen lama. Berarti kita cuma temen baru di sosial media seperti temen-temen dunia maya lainnya."

Sekali lagi saya harus menunggu jawaban Nevy cukup lama. Mungkin dia chatting sembari betulin genteng yang bocor di atap rumahnya hehehe....

"Buat gue sih gak penting, Bud. Kita temen satu SMA, buat gue itu udah cukup," sahut Nevy.

"Masa sih?"

"Serius! Masa lalu buat gue gak penting lagi. Yang lebih penting kita sama-sama merasa bertemen untuk bersilaturahmi. Dan silaturahmi itu pastinya akan menyenangkan karena kita punya fondasi yang kuat."

"Apa fondasi yang kuat itu?" tanya saya kebingungan.

"Ya itu tadi, kita sama-sama meyakini bahwa kita temen satu SMA. Temen-temen SMA kita yang lain adalah saksi bahwa kita memang beneran temen satu sekolah. Buat gue itu udah cukup. Gue meyakini bahwa hubungan kita ke depan akan lebih penting daripada mengorek-ngorek masa lalu yang kita udah lupa juga."

"Hehehehe canggih juga jawaban lo, Nev. Gue barusan pulang dari reuni dan temen-temen pada marah karena gue udah lupa sama mereka." Tanpa terasa saya langsung curhat mendengar jawaban bijaksana temen saya itu.

"Di usia sekarang, kita semua udah menjelma menjadi Si Pikun dan Si Baper, Bud. Makanya saat reuni dibutuhkan pengertian antara keduanya untuk saling mengerti keadaan itu," kata Nevy lagi.

Ah, seandainya semua temen di acara reuni tadi punya pemikiran seperti Nevy, pasti suasananya lebih menyenangkan. Thanks Nevy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun