Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Jarak Jauh, Demi Kuantitas atau Kualitas?

21 Agustus 2012   17:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:28 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) menjadi salah satu opsi yang dipilih pemerintah untuk memperluas akses dan pemerataan pendidikan. Apalagi pemeritah akan segera memberlakukan moratorium pendirian Perguruan Tinggi (PT) dan pembukaan program studi per 1 September 2012. Dengan PJJ – walau tetap harus sesuai dengan kriteria dan persyaratan- PT bisa meningkatkan daya tampungnya agar target pemerintah dapat mencapat target Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi sebesar 30% pada tahun 2015.

Kini PJJ bisa diselenggarakan oleh PT selain Universitas Terbuka. Landasan formalnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh pada Perguruan Tinggi. PJJ adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajaraannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi informasi dan komunikasi, dan media lain. Fungsinya adalah sebagai bentuk pendidikan bagi peserta didik yang tidak dapat mengikuti pendidikan tatap muka tanpa mengurangi kualitas pendidikan.

Berbagai rambu-rambu pun sudah dibuat agar PJJ tidak melupakan mutu lulusan, atau sekedar mengejar target jumlah lulusan. Walaupun demikian, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan agar fungsi dan tujuan tersebut sesuai dengan kebijakan.

Pertama, PJJ yang sarat dengan penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memerlukan kesiapan infrastruktur TIK di daerah yang menjadi sasaran. Indonesia masih menghadapi kesenjangan digital (digital divide) secara geografis, baik antara kota dengan daerah atau antara Jawa dengan pulau Jawa. Jika sekedar mengirimkan e-book atau berkas elektronik melalui pos atau email, kesenjangan tersebut mungkin belum terasa. Ketika bahan ajar PJJ menerapkan teknologi multimedia – misalnya computer assisted learning atau jenis media interaktif lainnya – maka keandalan jaringan komunikasi data menjadi syarat utama.

Kedua, PJJ memerlukan kemandirian dan disiplin dari peserta didik untuk menyediakan waktu khusus untuk belajar sendiri. Tanpa motivasi dan disiplin, peserta didik tidak bisa memanfaatkan PJJ secara optimal. Ada sinyalemen bahwa dengan pendidikan secara tatap muka saja, proses belajar-mengajar masih menghadapi kendala dalam transfer IPTEKS, apalagi dengan PJJ yang meminimalkan tatap muka secara langsung antara pendidik dan peserta didik.

Ketiga, PJJ memerlukan kondisi awal yang ideal, yakni peserta didik relatif melek TIK, yaitu mempunyai computer iteracy atau internet iteracy yang memadai. Harus diakui bahwa teknologi komputer dan internet sudah semakin populer. Namun, popularitas penggunaan internet tidak berbanding lurus dengan produktifitas pemanfaatannya untuk mendukung proses pendidikan. Peserta didik harus menahan godaan dari penggunaan internet atau komputer hanya untuk bersenang-senang atau sekedar gaya hidup.

Keempat, PJJ memerlukan kesiapan dosen, yang harus menyediakan waktu sebelumnya untuk menyediakan bahan ajar, apalagi jika bahan ajarnya tersebut berupa media interaktif yang memerlukan upaya khusus. Ada sinyalemen bahwa dosen lebih enak mengajar secara tatap muka. Tinggal bicara atau menulis di papan tulis, proses perkuliahan pun bisa mudah diselesaikan. Memang sinyalemen tersebut bisa benar atau salah, namun membuat sumber ajar untuk PJJ tidaklah mudah, apalagi bahan ajar tersebut tidak menghilangkan aspek pedagogik atau upaya peningkatan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Kelima, PJJ memerlukan pengawasan ketat terhadap penyelenggaranya. Jika tidak, PJJ bisa menjadi cara legal untuk memperoleh gelar secara mudah. Permendikbud memang sudah membuat regulasi yang tergolong ketat. Dan tidak setiap PT bisa mendapat izin penyelenggaraan PJJ karena harus melalui proses persetujuan yang tidak mudah untuk dilewati. Namun, pengawasan tetap harus bisa dilakukan secara berkelanjutan agar bisa mendeteksi penyimpangan. Mengajukan usulan penyelenggaraan PJJ mungkin bisa diusahakan oleh beberapa PT, namun implementasi di lapangan bisa menjadi persoalan lain.

Jika kelima faktor tersebut bisa diatasi, PJJ menjadi opsi yang layak untuk meningkatkan jumlah lulusan perguruan tinggi dengan tetap menjaga kualitasnya sesuai dengan tujuan pendidikan tinggi. Soal mutu lulusan jika dikaitkan dengan pengertian dan tujuan pendidikan tinggi jelas bukan sesuatu yang gampang. Saya kutip aja beberapa pasal pada UU Sisdiknas atau UU DIKTI yang baru disyahkan oleh DPR pada tanggal 13 Juli 2012.


Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. (Pasal 1 UU Sisdiknas)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun