Mohon tunggu...
Sony Budiarso
Sony Budiarso Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Menulis untuk melihat dunia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Emang Ojek Aja yang Online? Tani juga Bisa Kok!

12 Agustus 2020   15:03 Diperbarui: 12 Agustus 2020   15:56 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://www.goodnewsfromindonesia.id/

 

Orang bilang tanah kita tanah surga? Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Kini sepenggal lirik ciptaan Koes Plus itu dipertanyakan. Apakah masih kita disebut tanah surga? Jika pekerjanya saja naas tak ada. Dulu negeri ini penuh lumbungnya, jaya petaninya, hingga kita pun menjadi pemberi sesuap nasi bagi negara kelaparan di luar sana. Namun apakah semua ini masih relevan? Ada beban 270 juta rakyat yang harus diberi makan, dengan  petani yang kurang lebih hanya 33,4 juta jumlahnya dan 49 persen diantaranya adalah rumah tangga miskin, dan bahkan tidak mendapat penghidupan yang layak. Ketika permintaan pasar menjulang tinggi, panen mereka justru dibeli “rugi”, dan ditimbun sehingga bisa dijual dengan harga tak terkendali. Jika sudah begini, dimana letak kesejahteraan petani? Terlebih lagi, siapa yang mau jadi petani?

Sampai detik ini, negara kita masih belum lepas dari problematika pertanian, baik itu dari masalah ketahanan pangan, maupun Sumber Daya Manusia(SDM). Menurut Kaha(2017), pada tahun 2045, penduduk di Indonesia diperkirakan mencapai angka 318 juta jiwa dan konsekuensinya kebutuhan pangan dalam negeri akan terus meningkat. Oleh karenanya, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, Indonesia justru terancam mengalami krisis pangan apabila masih banyak konversi lahan dan minim regenerasi petani. Di tengah potensi bonus demografi dan lulusan pertanian yang membludak, miris sekali bahwa fakta jumlah petani muda di Indonesia justru sangat sedikit. Berdasarkan data Survei Pertanian Antar Sensus Badan Pusat Statistik(SUTAS BPS) tahun 2018, Dari total 27,6 juta jumlah rumah tangga usaha pertanian, jumlah petani muda berusia kurang dari 25 tahun hanya sebesar 2,76 persen. Pertanyaannya, bertualang kemana saja lulusan pertanian negeri ini?

Sayang sekali, petani muda seharusnya bisa berkontribusi optimal karena lebih dekat dengan teknologi. Apalagi di tengah hiruk pikuk digitalisasi yang tak terelakkan, sektor pertanian tak boleh tinggal diam, justru hal ini menjadi celah kesempatan di tengah pekerjaan rumah yang sangat besar. Hadirnya digitalisasi, memaksa berbagai sektor untuk berbenah, mengerahkan kemajuan berteknologi, untuk menghasilkan efisiensi dan efektivitas kerja masa kini. Di Indonesia contohnya, kita disuguhi kemudahan-kemudahan dengan awal peluncuran startup ojek online yang mengantarkan kita dari titik penjemputan sampai tempat tujuan. Fasilitas ini bisa kita dapatkan hanya dengan mengakses sebuah aplikasi yang ada di smartphone kita. Metode ini terbukti memudahkan, selain menghemat biaya ongkos, juga mempertemukan penjual dan pembeli dengan mudahnya. Tren inilah yang harus diadopsi dan dikembangkan di sektor pertanian.

Apalagi saat ini, terbukti sektor pertanian berkontribusi paling besar dalam menyelamatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pandemi, seperti data yang disajikan Badan Pusat Statistik(BPS), sektor pertanian di kuartal II 2020 mampu tumbuh positif di angka 2,19 persen. Bahkan, sektor manufaktur dan perdagangan yang selama ini menjadi andalan pemerintah malah minus 6,19 persen dan 7,57 persen. Ini membuktikan digitalisasi pertanian dapat menjelma menjadi lokomotif penyelamat Indonesia dari resesi ekonomi.

Sumber Gambar : Tanihub.com
Sumber Gambar : Tanihub.com

Hingga kini, berbagai startup mewarnai digitalisasi pertanian Indonesia, diantaranya TaniHub, Sayurbox, HappyFresh, dan masih banyak lagi. Ini membuktikan bahwa kini sektor pertanian telah berinovasi menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Pertanyaannya, sudahkah startup tersebut dinilai solutif bagi masyarakat maupun petani?

Dari sisi masyarakat, ini menjadi suatu hal yang solutif terutama dalam mendukung kewajiban kita untuk #dirumahaja, karena hanya dengan terhubung koneksi internet dan mengakses aplikasi Tani, hasil pertanian diantar sampai rumah, dengan higienitas yang terjamin karena selain diperoleh langsung dari petani, ada standar khusus dari pihak startup dengan jasa pengiriman yang akan menjamin higienitas produk yang dikirim. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 ini, proses sterilisasi dan penerapan protokol kesehatan saat ekspedisi wajib dilakukan untuk menjaga produk tetap steril sampai ke tangan pembeli.

Dari sisi SDM, adanya startup-startup tersebut ternyata belum menyelesaikan permasalahan. Sebab, startup belum menunjukkan geliatnya dalam usaha meningkatkan literasi digital petani dan belum menyelesaikan masalah petani yang seharusnya bisa go digital. Data SUTAS BPS 2018 juga menunjukkan bahwa tingkat literasi digital petani Indonesia masih rendah. Dari total 33,4 juta petani, 86,5 persen belum menggunakan internet. Kemudian temuan penulis dari laman startup pertanian TaniHub menunjukkan bahwa sistem operasional TaniHub belum mendukung adanya usaha kemandirian petani. Sebab, untuk menjual produk-produk hasil pertanian para petani,  TaniHub membuat merchant dan menggandeng mitra untuk mengelola merchant tersebut.

Sumber Gambar: Tanihub.com
Sumber Gambar: Tanihub.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun