Mohon tunggu...
Budi Arianto
Budi Arianto Mohon Tunggu... Human Capital/Manager/Sekolah Islam Sahabat Ilmu/Mahasiswa S2 Magister Manajemen Universitas Sultan Agung Semarang

Saya adalah seorang profesional di bidang Human Capital Manajer di Sekolah Islam Sahabat Ilmu dengan pengalaman dalam merancang strategi pengelolaan SDM, pengembangan karier, serta penguatan budaya kerja di lingkungan pendidikan. Saat ini, saya juga aktif menempuh pendidikan di jenjang Magister Manajemen (S2) di Universitas Sultan Agung Semarang, dengan fokus pada pengembangan sumber daya manusia, kepemimpinan strategis, dan manajemen organisasi. Dengan latar belakang sebagai praktisi dan akademisi, saya memiliki ketertarikan besar terhadap transformasi organisasi melalui pendekatan humanistik dan berbasis nilai. Dalam peran saya sebagai Human Capital Manager, saya mengelola berbagai program pengembangan karyawan, evaluasi kinerja, rekrutmen strategis, serta membangun sistem SDM yang adaptif dan selaras dengan visi lembaga. Saya percaya bahwa sumber daya manusia bukan sekadar aset, tetapi adalah penggerak utama perubahan yang perlu dirawat, dipahami, dan diberdayakan secara menyeluruh. Komitmen saya adalah membangun ekosistem kerja yang sehat, produktif, dan bermakna bagi setiap individu dalam organisasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bukan Soal Malas Tapi Soal Napas : Work-Life Balance Guru yang Terabaikan

14 Agustus 2025   17:10 Diperbarui: 14 Agustus 2025   17:08 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

2. Menetapkan Sistem Penggajian yang Transparan dan Adil
   Seluruh komponen gaji harus dijelaskan sejak awal, termasuk dasar pemotongan (jika ada). Setiap perubahan atau pengurangan harus dilakukan secara resmi dan disertai penjelasan tertulis.

3. Menjamin Hak Cuti Tahunan secara Formal dan Proporsional
   Hak cuti guru harus dijelaskan secara tertulis dan dapat digunakan tanpa tekanan. Prosedur pengajuan cuti juga harus jelas, sederhana, dan tidak mengurangi hak lain.

4. Menerapkan Jam Kerja yang Manusiawi dan Terbatas
   Batas waktu kerja harus ditegaskan dan dihormati. Kegiatan di luar jam kerja seperti lembur atau menginap di sekolah tidak boleh dilakukan tanpa kompensasi yang disepakati.

5. Mendelegasikan Tugas Non-Pengajaran ke Tenaga Administratif
   Guru seharusnya fokus pada pengajaran dan pembimbingan siswa. Tugas administratif seperti input data, pelaporan, atau dokumentasi sebaiknya ditangani staf administrasi.

6. Memberikan Fleksibilitas Kerja Berdasarkan Hasil dan Kepercayaan
   Fleksibilitas waktu dan tempat kerja perlu diberikan bagi guru yang mampu mengelola tanggung jawabnya secara mandiri, terutama untuk tugas-tugas yang tidak membutuhkan kehadiran fisik penuh.

7. Melakukan Monitoring Burnout secara Terstruktur dan Berkala
   Sekolah perlu memiliki mekanisme pemantauan kesejahteraan psikologis guru, misalnya melalui survei rutin, sesi reflektif, atau pendampingan profesional.

8. Membuat Kontrak Kerja yang Detail dan Berkeadilan
   Kontrak kerja harus mencerminkan hak dan kewajiban kedua belah pihak secara rinci. Ini melindungi guru dari perlakuan sepihak dan mengurangi potensi konflik kerja.

9. Membentuk Kanal Khusus untuk Pelaporan dan Perlindungan Guru
   HRD harus menyediakan sarana pelaporan yang aman, rahasia, dan tidak mengundang intimidasi. Setiap laporan burnout, tekanan kerja, atau ketidakadilan harus ditindaklanjuti secara adil.

10. Mengintegrasikan Work-Life Balance ke dalam Visi Strategis Sekolah
    Kesejahteraan guru harus menjadi indikator keberhasilan lembaga. Sekolah yang baik bukan hanya menghasilkan murid yang berprestasi, tetapi juga guru yang merasa hidup dan dihargai.

Organisasi pendidikan yang sehat bukanlah yang menguras tenaga pendidiknya demi citra dan angka, tetapi yang berani membangun ekosistem kerja yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan. Guru yang punya ruang untuk keluarga dan dirinya sendiri akan lebih mampu memberikan inspirasi tanpa kehilangan jati diri.

Kesimpulannya, burnout bukanlah sekadar kelelahan kerja. Ia adalah sinyal bahwa sebuah sistem sedang mengabaikan manusianya. Bila tidak segera dibenahi, maka yang lelah bukan hanya guru, tapi juga mutu pendidikan itu sendiri. Kita tidak bisa berharap lahirnya generasi emas dari ruang kelas yang muram dan guru-guru yang hampir padam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun