2. Menetapkan Sistem Penggajian yang Transparan dan Adil
  Seluruh komponen gaji harus dijelaskan sejak awal, termasuk dasar pemotongan (jika ada). Setiap perubahan atau pengurangan harus dilakukan secara resmi dan disertai penjelasan tertulis.
3. Menjamin Hak Cuti Tahunan secara Formal dan Proporsional
  Hak cuti guru harus dijelaskan secara tertulis dan dapat digunakan tanpa tekanan. Prosedur pengajuan cuti juga harus jelas, sederhana, dan tidak mengurangi hak lain.
4. Menerapkan Jam Kerja yang Manusiawi dan Terbatas
  Batas waktu kerja harus ditegaskan dan dihormati. Kegiatan di luar jam kerja seperti lembur atau menginap di sekolah tidak boleh dilakukan tanpa kompensasi yang disepakati.
5. Mendelegasikan Tugas Non-Pengajaran ke Tenaga Administratif
  Guru seharusnya fokus pada pengajaran dan pembimbingan siswa. Tugas administratif seperti input data, pelaporan, atau dokumentasi sebaiknya ditangani staf administrasi.
6. Memberikan Fleksibilitas Kerja Berdasarkan Hasil dan Kepercayaan
  Fleksibilitas waktu dan tempat kerja perlu diberikan bagi guru yang mampu mengelola tanggung jawabnya secara mandiri, terutama untuk tugas-tugas yang tidak membutuhkan kehadiran fisik penuh.
7. Melakukan Monitoring Burnout secara Terstruktur dan Berkala
  Sekolah perlu memiliki mekanisme pemantauan kesejahteraan psikologis guru, misalnya melalui survei rutin, sesi reflektif, atau pendampingan profesional.
8. Membuat Kontrak Kerja yang Detail dan Berkeadilan
  Kontrak kerja harus mencerminkan hak dan kewajiban kedua belah pihak secara rinci. Ini melindungi guru dari perlakuan sepihak dan mengurangi potensi konflik kerja.
9. Membentuk Kanal Khusus untuk Pelaporan dan Perlindungan Guru
  HRD harus menyediakan sarana pelaporan yang aman, rahasia, dan tidak mengundang intimidasi. Setiap laporan burnout, tekanan kerja, atau ketidakadilan harus ditindaklanjuti secara adil.
10. Mengintegrasikan Work-Life Balance ke dalam Visi Strategis Sekolah
  Kesejahteraan guru harus menjadi indikator keberhasilan lembaga. Sekolah yang baik bukan hanya menghasilkan murid yang berprestasi, tetapi juga guru yang merasa hidup dan dihargai.
Organisasi pendidikan yang sehat bukanlah yang menguras tenaga pendidiknya demi citra dan angka, tetapi yang berani membangun ekosistem kerja yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan. Guru yang punya ruang untuk keluarga dan dirinya sendiri akan lebih mampu memberikan inspirasi tanpa kehilangan jati diri.
Kesimpulannya, burnout bukanlah sekadar kelelahan kerja. Ia adalah sinyal bahwa sebuah sistem sedang mengabaikan manusianya. Bila tidak segera dibenahi, maka yang lelah bukan hanya guru, tapi juga mutu pendidikan itu sendiri. Kita tidak bisa berharap lahirnya generasi emas dari ruang kelas yang muram dan guru-guru yang hampir padam.