Mohon tunggu...
Budi Arianto
Budi Arianto Mohon Tunggu... Human Capital/Manager/Sekolah Islam Sahabat Ilmu/Mahasiswa S2 Magister Manajemen Universitas Sultan Agung Semarang

Saya adalah seorang profesional di bidang Human Capital Manajer di Sekolah Islam Sahabat Ilmu dengan pengalaman dalam merancang strategi pengelolaan SDM, pengembangan karier, serta penguatan budaya kerja di lingkungan pendidikan. Saat ini, saya juga aktif menempuh pendidikan di jenjang Magister Manajemen (S2) di Universitas Sultan Agung Semarang, dengan fokus pada pengembangan sumber daya manusia, kepemimpinan strategis, dan manajemen organisasi. Dengan latar belakang sebagai praktisi dan akademisi, saya memiliki ketertarikan besar terhadap transformasi organisasi melalui pendekatan humanistik dan berbasis nilai. Dalam peran saya sebagai Human Capital Manager, saya mengelola berbagai program pengembangan karyawan, evaluasi kinerja, rekrutmen strategis, serta membangun sistem SDM yang adaptif dan selaras dengan visi lembaga. Saya percaya bahwa sumber daya manusia bukan sekadar aset, tetapi adalah penggerak utama perubahan yang perlu dirawat, dipahami, dan diberdayakan secara menyeluruh. Komitmen saya adalah membangun ekosistem kerja yang sehat, produktif, dan bermakna bagi setiap individu dalam organisasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bukan Soal Malas Tapi Soal Napas : Work-Life Balance Guru yang Terabaikan

14 Agustus 2025   17:10 Diperbarui: 14 Agustus 2025   17:08 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Oleh 

Budi Arianto

20402400726

Human Capital Manajer

Di balik ruang kelas yang riuh dan suara guru yang terdengar tenang, tersimpan kenyataan yang sering kali luput dari perhatian: kelelahan yang sunyi, tekanan psikologis yang terus mengendap, serta batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan yang perlahan mengabur. Guru hari ini tidak lagi hanya bertugas mengajar. Mereka juga menjadi pendamping emosional bagi siswa, pengelola administrasi, pembuat konten promosi, bahkan ujung tombak pemasaran sekolah. Di tengah beban berlapis ini, muncul pertanyaan krusial: sampai kapan guru bisa bertahan tanpa terbakar perlahan-lahan?

Fenomena burnout di kalangan guru bukanlah isapan jempol. Ia hadir sebagai akibat dari sistem yang tidak ramah tenaga kerja, dan sering kali dianggap sebagai bagian dari pengabdian. Menurut Maslach dan Leiter (2016), burnout merupakan respons terhadap ketidaksesuaian antara individu dan lingkungan kerja, khususnya dalam enam domain utama: beban kerja, kontrol, penghargaan, komunitas, keadilan, dan nilai. Ketika guru merasa tidak memiliki kendali atas tugas-tugasnya, tidak mendapat apresiasi yang adil, gaji dipotong tanpa kejelasan, dan suasana kerja penuh tekanan sosial, maka burnout akan muncul dalam bentuk kelelahan emosional, sinisme, dan penurunan motivasi kerja.

Lebih jauh, penelitian Skaalvik (2017) menegaskan bahwa work-life balance berperan penting dalam menjaga kesehatan psikologis guru. Guru yang memiliki waktu pribadi, dihargai hak-haknya, dan diberi ruang untuk mengelola pekerjaan secara sehat akan lebih tahan terhadap tekanan. Sebaliknya, lingkungan kerja yang tidak teratur, tidak berpihak pada kesejahteraan, serta tidak memiliki sistem kepegawaian yang jelas, mendorong guru ke jurang kelelahan yang berkepanjangan bahkan mendorong mereka meninggalkan profesinya.

Sayangnya, banyak sekolah belum memandang serius isu ini. Budaya kerja yang menyanjung loyalitas dalam bentuk "kerja tanpa batas" justru menjadi pemicu utama burnout. Jam kerja yang melebihi batas wajar, beban laporan yang menumpuk, tuntutan menjawab komunikasi orang tua di luar jam kerja, pengalihan peran menjadi konten kreator promosi sekolah, pengurangan gaji saat libur, ketiadaan sistem cuti, serta kewajiban mengikuti kegiatan yang mengganggu kehidupan keluarga, menjadikan profesi guru kian melelahkan. Apalagi jika suasana kerja didominasi rekan kerja yang kompetitif secara tidak sehat mencari validasi melalui penilaian atasan dengan mengabaikan kejujuran.

Semua ini bukan sekadar asumsi. Di lapangan, kita bisa menyaksikan sendiri guru-guru yang dulunya antusias mulai kehilangan semangat, menarik diri dari interaksi sosial, bahkan merasa tidak dihargai secara personal maupun profesional. Ini bukan masalah kompetensi, melainkan gejala dari sistem yang abai terhadap keberlangsungan energi manusia. Kita seolah lupa bahwa guru adalah manusia, bukan mesin produksi nilai ujian atau konten media sosial.

Di sinilah peran strategis manajemen SDM dibutuhkan. HR di lingkungan pendidikan tidak boleh hanya berfungsi sebagai pengelola rekrutmen dan penilai kinerja, tetapi juga sebagai penjaga keberlangsungan martabat kerja. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang sistematis dan berpihak. Berikut 10 langkah konkret yang bisa diambil oleh sekolah:

1. Menyusun dan Mensosialisasikan Peraturan Kepegawaian yang Jelas
   Sekolah wajib memiliki dokumen resmi yang mengatur hak dan kewajiban seluruh karyawan, termasuk jam kerja, hak cuti, sistem gaji, larangan lembur tanpa persetujuan, dan prosedur pengaduan. Ini memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun