OlehÂ
Budi Arianto
20402400726
Human Capital Manajer
Di balik ruang kelas yang riuh dan suara guru yang terdengar tenang, tersimpan kenyataan yang sering kali luput dari perhatian: kelelahan yang sunyi, tekanan psikologis yang terus mengendap, serta batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan yang perlahan mengabur. Guru hari ini tidak lagi hanya bertugas mengajar. Mereka juga menjadi pendamping emosional bagi siswa, pengelola administrasi, pembuat konten promosi, bahkan ujung tombak pemasaran sekolah. Di tengah beban berlapis ini, muncul pertanyaan krusial: sampai kapan guru bisa bertahan tanpa terbakar perlahan-lahan?
Fenomena burnout di kalangan guru bukanlah isapan jempol. Ia hadir sebagai akibat dari sistem yang tidak ramah tenaga kerja, dan sering kali dianggap sebagai bagian dari pengabdian. Menurut Maslach dan Leiter (2016), burnout merupakan respons terhadap ketidaksesuaian antara individu dan lingkungan kerja, khususnya dalam enam domain utama: beban kerja, kontrol, penghargaan, komunitas, keadilan, dan nilai. Ketika guru merasa tidak memiliki kendali atas tugas-tugasnya, tidak mendapat apresiasi yang adil, gaji dipotong tanpa kejelasan, dan suasana kerja penuh tekanan sosial, maka burnout akan muncul dalam bentuk kelelahan emosional, sinisme, dan penurunan motivasi kerja.
Lebih jauh, penelitian Skaalvik (2017) menegaskan bahwa work-life balance berperan penting dalam menjaga kesehatan psikologis guru. Guru yang memiliki waktu pribadi, dihargai hak-haknya, dan diberi ruang untuk mengelola pekerjaan secara sehat akan lebih tahan terhadap tekanan. Sebaliknya, lingkungan kerja yang tidak teratur, tidak berpihak pada kesejahteraan, serta tidak memiliki sistem kepegawaian yang jelas, mendorong guru ke jurang kelelahan yang berkepanjangan bahkan mendorong mereka meninggalkan profesinya.
Sayangnya, banyak sekolah belum memandang serius isu ini. Budaya kerja yang menyanjung loyalitas dalam bentuk "kerja tanpa batas" justru menjadi pemicu utama burnout. Jam kerja yang melebihi batas wajar, beban laporan yang menumpuk, tuntutan menjawab komunikasi orang tua di luar jam kerja, pengalihan peran menjadi konten kreator promosi sekolah, pengurangan gaji saat libur, ketiadaan sistem cuti, serta kewajiban mengikuti kegiatan yang mengganggu kehidupan keluarga, menjadikan profesi guru kian melelahkan. Apalagi jika suasana kerja didominasi rekan kerja yang kompetitif secara tidak sehat mencari validasi melalui penilaian atasan dengan mengabaikan kejujuran.
Semua ini bukan sekadar asumsi. Di lapangan, kita bisa menyaksikan sendiri guru-guru yang dulunya antusias mulai kehilangan semangat, menarik diri dari interaksi sosial, bahkan merasa tidak dihargai secara personal maupun profesional. Ini bukan masalah kompetensi, melainkan gejala dari sistem yang abai terhadap keberlangsungan energi manusia. Kita seolah lupa bahwa guru adalah manusia, bukan mesin produksi nilai ujian atau konten media sosial.
Di sinilah peran strategis manajemen SDM dibutuhkan. HR di lingkungan pendidikan tidak boleh hanya berfungsi sebagai pengelola rekrutmen dan penilai kinerja, tetapi juga sebagai penjaga keberlangsungan martabat kerja. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang sistematis dan berpihak. Berikut 10 langkah konkret yang bisa diambil oleh sekolah:
1. Menyusun dan Mensosialisasikan Peraturan Kepegawaian yang Jelas
  Sekolah wajib memiliki dokumen resmi yang mengatur hak dan kewajiban seluruh karyawan, termasuk jam kerja, hak cuti, sistem gaji, larangan lembur tanpa persetujuan, dan prosedur pengaduan. Ini memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi guru.