PERNAH tidak punya pekerjaan? Sempat tak berpenghasilan? Kalau cari pekerjaan sih mudah. Mengecat langit juga pekerjaan. Tapi, ada bayarannya tidak?
Saya pernah merasakan menjadi penganggur selama beberapa waktu. Krisis moneter 1998 menyebabkan tutupnya kantor tempat saya bekerja. Tak ada pesangon, kemudian tabungan menjadi satu-satunya sumber bertahan hidup.
Berusaha cari kerja di perusahan lain, surat lamaran tak mendapat jawaban. Mau usaha, pikiran terbelenggu: usaha apa tanpa pengalaman dan modal?
Sempat membantu seorang kawan dalam pembuatan film. Bukan untuk keperluan komersial, melainkan film profil perusahaan. Satya mendapat uang bagian dari proyek tersebut.
Namun, proyek berakhir berhenti pula uang mengalir. Saya masih sering mendatangi lokasi usaha tersebut berharap ada tetesan uang, tapi kegiatan komersial mereka juga sedang mandek.
Jadilah bekerja "mengecat langit", misalnya bikin gagasan atau proposal yang seringkali gagal dipasarkan. Konsekuensinya, takda duit yang bisa dicubit.
Ada "bayaran" ala kadarnya, berupa kopi dan makan. Takada penggantian ongkos, sekalipun uang bakal membeli segulung tembakau. Dulu, saya perokok.
Kepepet, pikiran lebih cerdas. Dengan sedikit uang membeli pisang tanduk, meses (isian roti tawar, terbuat dari cokelat), dan kulit lumpia. Saya membentuk bahan-bahan tersebut dan menggorengnya menjadi pisang cokelat.Â
Saya meletakkannya di bagasi mobil hatchback dengan pintu belakang terbuka. Memajangnya di Lapangan Parkir Timur Senayan, yang pada Minggu pagi banyak orang berolahraga.
Itu adalah titik awal saya terjun ke dunia usaha. Ya! Â Bermula dari jualan makanan sederhana, berkembang menjadi pengelolaan bisnis kuliner berskala lebih kompleks. Terakhir, mengembangkan usaha kecil bidang konstruksi. Panjanglah ceritanya.Â