Saya membatalkan tujuan berbelanja ke warung Melayu. Lanjut ke warung di dalam gang. Lebih kecil, mestinya pembeli tidak terlalu banyak. Eh, ternyata sama saja.
Ke warung sayur berbeda, berlangsung keadaan serupa. Pindah ke beberapa tempat lainnya, setali tiga uang.
Ternyata pada hari pertama puasa, warung sayur lebih ramai ketimbang pada hari lain. Mungkin ibu-ibu menyiapkan bahan-bahan masakan untuk hidangan buka puasa dan sahur.
Belanjaannya pun lebih beragam, yang memerlukan lebih banyak jenis bahan pangan. Ada yang mau bikin hidangan utama yang istimewa, gorengan, kolak, buah campur, minuman penyegar, dan sebagainya.
Di rumah juga begitu. Hidangan buka puasa dan sahur cenderung lebih bervariasi, meski tidak berlebihan.
Saat berbuka tersaji kurma, beberapa jenis buah potong (kadang diganti dengan kolak), dan bakwan atau tempe tepung goreng.
Kalau makanan utama tidak banyak berbeda dengan menu pada hari biasa. Saya biasa makan nasi beras merah, sayur, lauk sumber protein (tempe, tahu, telur, atau ikan).
Demikian pula saat sahur, tidak ada penambahan menu yang membuat perut berasa mau meletus menjelang Imsak. Takada olahan daging pun ayam.
Pada banyak kesempatan, air putih menjadi pilihan, bukan minuman berpemanis dan susu. Selama bulan Ramadan saya berhenti minum kopi, karena ngopi butuh waktu santai.
Sebelum sakit, saya biasa menyeruput kopi setelah minum air putih dan menelan gorengan. Hidangan berbuka jauh lebih beragam. Nilai belanja berlipat. Ditambah, nafsu memborong takjil
Tidak semua termakan. Minum air putih, makan kurma, menyantap satu dua gorengan, ngopi, ditutup dengan makan berat secukupnya. Itu sudah membuat perut kenyang banget.