PAGIÂ kemarin, setelah mengunggah artikel ke Kompasiana saya keluar rumah. Pergi ke warung sayur, sekalian olahraga jalan kaki pagi.
Hari pertama puasa jalanan tampak lengang. Mobil-mobil pulas di tepi jalan sepi. Satu dua sepeda motor melintas. Berbeda dengan hari biasa, yang dipenuhi oleh hiruk pikuk pagi.
Sabtu pagi, mungkin sebagian orang masih bersantai di rumah masing-masing. Bisa jadi, hari pertama puasa umumnya pegawai dan anak sekolah libur.
Makanya, tak terlihat kegiatan berangkat ke kantor dan sepeda motor mengantar anak ke sekolah. Hari pertama Ramadan menjadi momen istirahat, beradaptasi dengan kondisi puasa. Jalanan sepi.
Tidak demikian di warung sayur Melayu. Sebutan itu karena pemiliknya berasal dari Sumatera Utara.
Ia perantau yang menjual sayur dan segala kebutuhan sehari-hari. Dari menyewa tempat kecil untuk berdagang, hingga mampu membelinya untuk dibangun menjadi rumah bertingkat. Sebagian ruang dimanfaatkan untuk toko kelontong dan penjualan sayur.
Tiba di depan warung Melayu, terlihat ibu-ibu sedang berbelanja. Suara-suara berebut agar mendapatkan pelayanan lebih dulu dibanding yang lainnya. Semua orang ingin dilayani duluan tanpa mau antre.
Tak mungkin bersaing dengan ras terkuat di bumi. Saya bakal tidak mampu menyaingi volume suara emak-emak. Pasti kalah ketika berebut dan bersenggolan. Bisa-bisa saya tersungkur.