Barangkali penjual mengalami kesulitan membeli ayam negeri di pasar, maka ia memotong salah ayam kampung peliharaannya sebagai bahan jualan.
Satu perasaan ganjil di dalam hati mendorong saya memilih. Tak lama penjual menggoreng potongan paha atas.
Pada pagi jelang siang itu saya menyantap setengah piring nasi, sambal, lalap, telur ceplok tinggal satu, dan ayam kampung goreng. Sarapan telat, meski sudah sarapan, sekaligus makan siang terlalu cepat. Brunch.
Selama menghabiskan hidangan, saya mengobrol. Penjual merasa, belakangan penjualan anjlok di tengah sulitnya mencari elpiji 3 kg. Ia menduga, telah terjadi gelombang penurunan daya beli, sehingga berdampak terhadap penjualan di warungnya.
"Di tempat lain juga pada sepi? Kenapa ya?"
Saya tidak bisa menjawab, kecuali membayar harga makanan Rp20.000 dan mendoakan, semoga gejala penurunan penjualan bersifat sementara. Membaik seiring pencapaian pertumbuhan ekonomi 8% yang dijanjikan Presiden Prabowo dan jajarannya. Bisakah tercapai?
Para pakar lebih eligible menerangkan fenomena penurunan daya beli belakangan ini dan penyebabnya, daripada saya.Â
Hal kecil yang saya bisa lakukan membeli produknya, dengan turut melariskan dagangan pelaku usaha mikro itu. Juga membesarkan hatinya.
"Siapa tahu nanti ada mercy terbaru lewat. Penumpangnya membuka kaca, melempar segepok uang. Ntar sebagian untuk modal," saya melangitkan harap sembari memperagakan tangan sedang memutar engkol bukaan kaca sedan mewah itu.